Minggu, 16 Januari 2011

PESANTREN

AL-MULTAZAM KHUSNUL KHOTIMAH KAB. KUNINGAN

DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI NEOFUNGSIONALISME

(JEFFRY C. ALEXANDER)

A. PENDAHULUAN

1. Latarbelakang

Istilah pesantren berasal dari kata santri degan awalan pe-dan akhiran an berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yg dikutip oleh Haidar Putra Daulay mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yg belajar agama Islam sehingga dgn demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul utk belajar agama Islam. Ada juga yg mengartikan pesantren adl suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yg bersifat “tradisional” utk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian (2004: 26-27).

Dalam kamus besar bahas Indonesia pesantren diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adl lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dgn materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum bertujuan utk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dgn menekankan penting moral dalam kehidupan bermasyarakat.

Pondok pesantren secara definitif tak dapat diberikan batasan yg tegas melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yg memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang lebih konkrit karena masih meliputi beberapa unsur utuk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif.

Maka degan demikian sesuai degan arus dinamika zaman definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awal pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tak lagi selama benar.

Tipologi Pondok Pesantren, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :

· Pesantren yg mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yg diajarkan dipesantren ini sepenuh bersifat keagamaan yg bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yg ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang Jawa tengah dan lain-lain.

· Pesantren yg memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun dgn kurikulum yg disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti kurikulum yg ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yg dikeluarkan tak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.

· Pesantren yg merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yg terbanyak jumlahnya. (2002:149-150)

· Pesantren yg menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yg sampai Perguruan Tinggi yg tak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adalah contohnya.

Dinamika Pondok Pesantren, dalam perspektif sosiologi lembaga penidikan terutama yang berbasis di pesantren ini telah mengalami proses perubahan interaksi khusus komunitas pesantren. Ini menunjukkan bahwa ada gejala- gejala sosial yg dilakukan komunitas pesantren utuk memiliki komunitas tersendiri agar tidak tergangu dengan gaya interaksi masyarakat dalam tanda kutip pergaulan bebas (tidak terkontrol tidak tertib dan tidak memiliki tujuan keilmuan/ Scence oriented) untuk membangun generasi muda berkarakter keagamaan. Hal inilah rupanya yang diterapkan didalam lingkunga komunitas Pondok Pesantren Multazam di Kuningan. Gambaran tentang kehidupan social pesantren ini penulis akan memcoba memandang dari perspektif teori sosiologi Jeffry C. Alexander yang terkenal dengan teori neo fungsionalsme.

Bagaimanakah sesungguhnya interaksi sosial yang terjadi di pondok pesantren Al Multazam Kuningan ? Bagaimanak struktur sosial yang ada di pondok Pesantren Multazam Kuningan ? Bagaimanakah interaksi sosial pesantren dengan masyarakat sekitar Pondeok Pesantren Al Multazam Kab. Kuningan ? Sejauh manakan kesesuaian antara interaksi socsal pada komunitas pesantrsn dengan teori sosiologi Neofungsionalsme yang dikembangkan (Grend Theory) oleh Jeffry C. Alexander ?

B. PEMBAHASAN

1. Karakteristik Konsep Pemikiran Neofungsionalisme

Pertama, neofunctionalism beroperasi dengan model penggambaran masyarakat yang melihat bahwa masyarakat terdiri dari unsur-unsur yang terpola. Pola ini memungkinkan sistem untuk dibedakan dari lingkungannya. Bagian dari sistem ini adalah "hubungan simbiosis," dan interaksi mereka tidak ditentukan oleh beberapa bentuk yang menyeluruh. Dengan demikian, neofunctionalism menolak setiap monocausal determinisme, terbuka dan pluralistik.

Kedua, Alexander berpendapat neofunctionalism yang mencurahkan perhatian yang sama terhadap tindakan dan ketertiban. Neofunctionalism juga dimaksudkan untuk memiliki arti tindakan luas, tidak hanya rasional tetapi juga tindakan yang ekspresif.

Ketiga, neofunctionalism mempertahankan kepentingan struktural-fungsional dalam penggabungan, bukan sebagai fakta tetapi lebih sebagai kemungkinan sosial. Keempat, neofunctionalism menerima penekanan Parsonsian tradisional pada kepribadian, budaya, dan sistem sosial. Selain menjadi penting untuk struktur sosial, penafsiran dari sistem ini juga menghasilkan ketegangan untuk perubahan dan kontrol.

Kelima, neofunctionalism berfokus pada perubahan sosial dalam proses pembedaan sistem sosial, budaya, dan kepribadian. Jadi, perubahan tidak disebabkan pada "ketegangan individu dan lembaga" (Alexander, 1985a: 10).

2. Profel Ponpes Al Multazam Husnul Khotimah

Sekolah Islam Terpadu (SIT) Al Multazam berdiri tahun 2002. Permulaan kerja membangun sistem manajemen sekolah tersebut pada bulan Desember 2002 yaitu dengan membuka program SDIT pada bulan juli 2002. Setahun kemudian dibuka program untuk SMPIT, yang tepatnya pada tahun pelajaran baru Juli 2003-2004. Sekolah Islam Terpadu Al Multazam biasa disingkat dengan sebutan SIT Al Multazam Boarding School. SIT Al Multazam Boarding School berdiri dibawah Yayasan Pendidikan Islam Al Multazam Husnul Khotimah. Yayasan tersebut berdiri dan diresmikan pada tanggal 2 Mei 2002 dengan akte pendirian Hjh. Itje Tresnawiyah, SK. No. 3 Tanggal 2 Mei 2002. Status SMPIT AL Multazam swasta murni dan pada Januari 2006, SMPIT Al Multazam telah terakreditasi A (Amat Baik) oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kuingan.

3. Struktur Yayasan Pendidikan Islam Al-Multazam Husnul Khotimah

Susunanan pengurus lembaga pendidikan Pondik Pesantren Al Multazam Khusnul Khotimah yang dapat penulis sajikan dari hasil survey di lokasi pada tanggal 14 Nopember 2010 dengan responden pengurus lembaga ependidikan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Dewan Pendidri

H. Sahal Suhan, SH.

Pandu Suandhana

H. Maman Kurman, SH.

Titi Dwi Wulandari.

Tita Eka Puspita

b. Pembina Yayasan:

H. Sahal Suhana, SH.

Pandu Swandana

Tita Eka Puspita

Titi Wulandari

c. Dewan Pengawas:

KH. Kosasih Thoyib, Lc. MH.

Pengurus Yayayasan:

Ketua Yayasan:

H. Maman Kurman, SH.

d. Sekretaris:

Asep Saputra

e. Bendahara:

Hj. Nining Rimawati

f. Mudir:

KH. Abdul Rosyid, Lc. M.Ag.

4. Profil Sekolah

1. Nama : SMP Islam Terpadu Al-Multazam

2. Nama Yayasan : YPI Al-Multazam Husnul Khotimah

3. Alamat yayasan : Desa Maniskidul Kec. Jalaksana Kab. Kuningan

4. Kepala Sekolah : Dul Ahmad Bachtiar, Lc. M.Pd.I

5. SK Pendirian : 421.2/88/Sosial

6. NPSN : 20246363

5. NSS : 202021512037

6. Jenjang Akreditasi : A (Amat Baik), Tahun 2006

7. Status Tanah : Milik Yayasan

a. Surat Kepemilikan Tanah : Pribadi

b. Luas Tanah : 15.000 m2

8. Data Siswa tahun 2009-2010 : 530 siswa

9. Data Ruang Kelas : 16 Ruang kelas (status milik sendiri)

10. Jumlah Rombongan belajar : 6 Rombongan belajar Kelas VII

5 Rombongan Belajar Kelas VIII

5 Rombongan Belajar Kelas IX

11. Guru : 39 orang

12. Kegiatan Belajar Mengajar : Pagi, Siang, dan Malam.

13. Sumber Dana Operasional : a. SPP (Sumbangan Pemb. Pendidikan)

b. BOS

14. Sarana dan Prasarana Fisik : Memamadai, Sebagaimana terlihat pada gambar berikut :

1 2345

678910

Keterangan Gambar: 1.Kantor 2.Gedung SMP 3. Gedung SMA 4.Ruang Belajar Putri 5.Lab. Komputer Putra 6.Lab. Komputer Putri 7. Lab. Bahasa 8.Ruangan Masjid 9.Gedung SD 10. Lapangan Olahraga Basket, Bola Voly dan Bulu Tangkis

15. Visi

SMPIT Al-Multazam adalah :"Menjadi sekolah unggulan kebanggaan umat".

16. Misi

SMPIT Al-Multazam adalah sebagai berikut :

1. Mewujudkan sekolah yang professional

2. Menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efesien dengan pemanfaatan sumber daya yang ada.

3. Menciptakan budaya dan iklim pendidikan yang Islami.

4. Menciptakan tenaga kependidikan yang berkualitas, profesional, haroki dan Islami.

5. Mencetak ulama intelektual dan intelektual ulama.

6. Mengkader generasi dengan aqidah yang benar dan bersih serta memiliki akhlaqul karimah.

17. Tujuan Pendirian Sekolah :

1. Menyediakan lembaga pendidikan Islam alternatif.

2. Menjalankan amanah ummat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

3. Membangun institusi pendidikan yang Islami yang dapat menyiapkan siswa unggul.

4. Menjadi mitra keluarga dan masyarakat dalam mendidik generasi muda yang berkualitas dan kompetitif.

5. Mempersiapkan SDM yang tangguh dan siap menghadapi tantangan kehidupan global.

18. Program Unggulan SIT Al-Multazam :

1. Tahfizhul Qur'an

2. Membiasakan berbahasa Inggris dan Arab aktif. Oleh karena itu, ditetapkan hari wajib berbahasa asing.

3. Olah Raga Prestasi.

4. Teknologi Informasi dan Komputer.

5. Matematika dan Sains (MIPA)

6. Belajar menerapkan cara hidup Islami.

7. Lingkungan Pembelajaran yang sangat mendukung.

8. Tanah dan bangunan milik sendiri

5. Diskripsi Umum Menejemen Pesantren Al Multazam

Perilaku kepemimpinan kharismatik-tradisional pesantren sebenarnya bersandar kepada keyakinan bahwa kyai mempunyai kualitas luar biasa yang bersifat teologis, hal ini merupakan daya tarik pribadi kyai sebagai pemimpin-kekuasaannya berasal dari Tuhan. Fenomena kepemimpinan secara kolektif bersandar pada pembagian peran, tugas dan kekuasaan secara bersama, sehingga lahirnya kepemimpinan kolektif di pesantren diasumsi sebagai usaha bersama untuk mengisi jabatan baru karena tuntutan sosial masyarakat.

Perubahan kepemimpinan tunggal yang mengacu pada figur kyai tertentu pada pola kepemimpinan kolektif semacam ini ternyata tidak menampik otoritas kyai yang menjadi ciri utama pesantren Al Multazam Khusnul Khotimah Kuningan, bahkan menempatkan kyai sebagai pengasuh yang terlembaga dalam dewan pengasuh (Lihat pada Struktur Yayasan Pendidikan Islam Al-Multazam Husnul Khotimah) Pengurus harian dan yayasan yang bertugas membenahi operasionalisasi yang dipegang oleh kyai muda dibantu sejumlah alumni dan santri, sehingga terjadi diversivikasi wewenang yang relatif merata, keputusan tidak muncul sepihak melainkan melalui mekanisme musyawarah seluruh komponen yang ada dalam kepengurusan dan yayasan pesantren.

Observasi ini bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku kepemimpinan kolektif di pesantren. Beberapa hal yang dapat dideskripsikan sehubungan dengan fokus penelitian ini adalah; perilaku kepemimpinan kepemimpinan kolektif di pondok pesantren dalam proses pengambilan keputusan, pengendalian konflik, dan pembangunan tim. Sub fokusnya adalah; perilaku kepemimpinan, sumber otoritas dan ghirah kepemimpinan kolektif dan proses pengambilan keputusan, penyelesaian konflik dan pembangunan tim.

Observasi ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif berjenis studi multi situs pada tiga pondok pesantren di Jawa Timur; yaitu pesantren Bani-Djauhari Prenduan, pesantren Bani-Syarqawi Guluk-Guluk Kota Garam Sumekar dan di pesantren Bani-Basyaiban Kraton Kota Santri. Dalam menggali data peneliti banyak menggunakan wawancara mendalam dengan para kyai fungsionaris Dewan Pendiri, Dewan Pengawas, dan Dewan Pengurus, serta dari para pengurus harian-majlis a'wan, asatidz, dan santri. Serta melalui observasi dan dokumentasi, data-data dianalisis secara interaktif dan komparatif konsan.

Dari hasil observasi diketahui bahwa; pertama, perspektif kepemimpinan kolektif pesantren, semula teraktualisasi dari proses sosial-kultural, kemudian pada perkembangannya berubah kepada proses sosial-struktural berbentuk organisasi yang beranggotakan kyai-kyai/Asatidz dan kemudian disebut "Dewan Pengurus" yang memimpin dan mengasuh santri secara bersama-sama (berjemaah) atau collective didasarkan pada seniouritas (masyayikh) dari garis kekerabatan (kinship), dengan kedudukan majlis kyai sebagai badan tertinggi di pesantren, secara fungsional merupakan pembina pengurus harian dan pengurus yayasan, yang dibantu oleh majlis pengasuh putri, majlis a'wan dan pengurus pleno. Dan sedangkan kolektivitas kepemimpinan dalam majlis kyai berkecenderungan pada perilaku kepemimpinan kolektif-partisipatif bergantung kepada kapasitas peran dan otoritas yang dipenuhi para kyai, serta kewenangan yang diberikan kepada kyai muda.

Kedua, kewenangan dewan- dewan tersebut secara kolektif di pesantren bersumber dari kesadaran bersama pada norma-norma yang telah diatur bersama, serta kesadaran personal beberapa kyai bersumber dari nilai-nilai keagamaan yang diyakini berupa kharisma (charismatic-religious), yang mempunyai tujuan dan ghirah pelembagaan kepemimpinan di pesantren Al Multazam Khusnul Khotimah Kuningan ini sebagai upaya pembagian tugas dan kekuasaan, sebagai wadah bermusyawarah, upaya kesinambungan pesantren dimasa-masa mendatang, responsif terhadap persoalan pendidikan masayarakat, dan meneladani Rasul Muhammad saw., sebagai pemimpin sejati. Dan sedangkan perilaku kepemimpinan kolektif di pesantren didukung oleh faktor kepribadian, faktor pendidikan, faktor pengalaman, dan faktor lingkungan para Asatidz di pesantren.

Ketiga, Perilaku proses pengambilan keputusan majlis Asatidz dilakukan melalui musyawarah dan inisitif-inisiatif sebagai proses penetapan tujuan dan sosialisasi program dalam memperkaya gagasan dan keterlibatan semua pihak. Demikian juga proses penyelesaian konflik bersifat individual, mediasi, klarifikasi (tabayyun), proses ikrar dan perjanjian (tajdidun niyah), dan proses mija hijau (mahkamah), sebagai upaya penegakan syari'ah. Sedangkan proses pembangunan tim dilakukan melalui proses intensitas pertemuan dan pemerataan komunikasi diantara pengurus, pemanfaatan moment-moment, pelibatan para Nyai di pesantren, serta pemberian kompensasi (bisyaroh).

Implikasi obserfasi ini dapat mengilhami pola kepemimpinan pesantren yang selama ini dipimpin secara tradisional, kompensional dan individual minded. Kemudian pembagian kekuasaan dan wewenang, serta tugas dan fungsi kepemimpinan akan semakin jelas dan terarah, karena menurut peneliti problem yang akan diahadapi pondok pesantren dimasa-masa mendatang semakin kompleks, sehingga refresentasi kepemimpinan kolektif semakin mungkin untuk modalitas perilaku kepemimpinan yang berkesinambungan (continual leadership) dan situasional kolektif-partisipatif.

C. KESIMPULAN

Dari latar belakang juga pembahasan Konsep teori sosiologi Jeffry C. Alexander, Profil dan gambaran umum tentang implementaqsi menejemn pengelolaan Pondok Pesantren Al Multazam Khusnul Khotimah, maka makalah ini dapat disimpulkan bahwa;

Petama, proses aktivitas sosial di lingkungan pondok pesantren Al Multazam Khusnul Khotimah Kab. Kuningan secara tidak disadari oleh fihak lembaga tersebut sebagian telah mengimplementasikan konsep sosiologi Jeffry C. Aleksander ini tergambar dari pelaksanaan menejemen yang mengakibatkan komunitas pesantren ini terdiri dari unsure- unsure yang terpola. Penulis katakan baru nampak sebagian implementasi neofungsionalisme pada tataran interksi komunitas pesantren tersebut karena interaksi sosialnya masih Mono monocausal determinisme, tidak terbuka dan pruralistik.

Kedua, Proses interaksi antar santri sudah nampak adanya aplikasi teori sosiologi neofungsionalisme Jeffry C. Alexander, terbukti adanya hubungan yang simbiosis diantara para pengurus dengan pengurus, antara pengurus dengan santri, antara santri santri dengan santri dan antara pengurus Ponpes dengan para wali santri, antara fihak komunitas pesantren dengan masyarakat sekitar pesantren (Tetangga Pondok Pesantren/komunitas luar Pondok Pesantren).

Dalam penulisan makalah ni pasti banyak kekurangan, maka penulis mohon saran den masukan untuk perbaikan. Terimakasih semoga bermanfaat, Amin…

PENDIDIKAN KARAKTER

Sebuah Kajian kebijakan Pendidikasn

Tentang Nilai Agama Sebagai Rujukan Membangun Karakter Bangsa

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kondisi Bangsa Dewasa ini (era global)

Fakta sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia tidak pernah berhenti dalam menyelenggaanrakan program pendidikan dalam keadaan bagaimanapun juga. Namun hingga saat ini keadaan bangsa kita masih mengalami kondisi yang yang tidak kondusif. Bahkan berkembangnya prilaku baru yang sebelum era global tidak banyak muncul, kini cenderung meluas, antara lain: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan masyarakat; (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, cenderung tidak menggunakan kata baku; (3) pengaruh peer-group (geng) yang kuat dalam tindak kekerasan; (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; (6) menurunnya etos kerja; (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; (9) membudaya-nya ketidakjujuran; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama

Berikut juga fenomena yang tidak dapat dipungkiri, yakni:

(1). Masa balita, pendidikan dan pengasuhan balita diserahkan kepada pembantu yang notabene kurang memiliki cukup kemampuan sebagai pendidik;

(2). Masa remaja, pembinaan remaja di luar rumah atau kelas diserahkan kepada masyarakat, yang ternyata kondisinya tidak kondusif bagi pengembangan karakter.

(3). Masa dewasa, integrasi masyarakat tidak menentu, tidak ada saling mempercayai (trust), kehidupan semu, tidak tulus, ABS, budaya munafik, dll.

B. BATASAN ISTILAH OBYEK KAJIAN ?

1. Hakekat Karakter

Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.

Sedangkan karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir. Lebih lanjut Simon Philip mengartikan bahwa karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.

Sementara Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Dari
berbagai pendapat pendapat yag telah disebutkan tersebut, maka dapat difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya.

2. Pendidikan Karakter

Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.

II. PEMBAHASA

A. Membangun Bangsa Berkarakter

Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri, terutama kepada para pemegang kebijakan pendidikan (Pemerinta). Bila Pemerintah dan semua komponen bangsa ini memberikan perhatian yang serius untuk membangun pendidikan bebasis karakter, maka akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan karakter kepada para peserta didiknya, maka akan tercipta pula generasi yang berkarakter.

B. Kebijakan Pemerintah Dan Pemegang Kebijakan Pendidikan

Indonesia adalah satu-satunya Negara yang Pembukaan Undang - Undang Dasarnya menetapkan misi ” mencer­daskan kehidupan bangsa ” sebagai misi penyelengga-raan pemerintah Negara dan menetapkan hak warga Negara memperoleh pendidikan dan kewajiban Peme­rintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasi-onal dalam bab khusus yaitu Bab tentang Pendidikan.

Sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Un­dang No. 20 Tahun 2003 yang tertulis: Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermu-tu, karena itu, bila ini semua dipenuhi dan sistem kurikulum dirancang dan dilaksanakan secara re­levan, maka cita-cita menjadikan pendidikan sebagai wahana pembentukan karakter bangsa akan dapat terlaksana dan masalah persatuan bangsa dengan sendirinya akan teratasi, dan Negara bangsa yang cer­das kehidupannya serta Negara bangsa Indonesia akan benar-benar berkarakter Pancasila

Peraturan pemerintah Nomor: 55 Tahun 2005 sebagai pedoman pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, telah banyak dikritisi oleh para pakar pendidikan Islam dan dikonfirmasikan dengan fakta pendidikan Islam dalam tataran empiric.

C. Lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia:

1. Transendensi: Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Dari kesadaran ini akan memunculkan sikap penghambaan semata-mata pada Tuhan yang Esa. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa;

2. Humanisasi: Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi. Kemanusiaan yang adil dan beradap;

3. Kebinekaan: Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan, Persatuan Indonesia;

4. Liberasi: Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;

5. Keadilan: Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi proporsional. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk menyelenggarakan pendidikan karakter, perlu adanya powerfull ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter. Powerfull ideas ini meliputi: (1) God, the World & Me (gagasan tentang Tuhanyang maha pencipta, dunia, dan saya: QS.Al’Alak :1-2); (2) Knowing Yourself (memahami diri sendiri); (3) Becoming a Moral Person (menjadi manusia bermoral); (4) Understanding & Being Understood Getting Along with Others (memahami dan dipahami); (5) A Sense of Belonging (bekerjasama dengan orang lain); (6) Drawing Strength from the Past (mengambil kekuatan di masa lalu); (7) Dien for All Times & Places; (8) Caring for Allah’s Creation (kepedulian terhadap makhluq); (9) Making a Difference (membuat perbedaan); dan (10) Taking the Lead.

Adapun nilai-nilai luhur yang perlu diajarkan agar menjadi sikap hidup sehari-hari menurut Dr Sukamto, antara lain meliputi: Kejujuran; Loyalitas dan dapat diandalkan; Hormat; Cinta; Ketidak egoisan dan sensitifitas; Baik hati dan pertemanan; Keberanian; Kedamaian; Mandiri dan Potensial; Disiplin diri dan Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian; dan Keadilan dan kasih sayang. Seorang intelektual hendaknya berkarakter kenabian/profetik (berjiwa agama) memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

Karakter manusia “sempurna” sebagaimana ditampilkan oleh para Nabi dalam kehidupan sehari-hari. Bila seseorang memahami akhlak para nabi (sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad saw) dan turut mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari berarti orang tersebut telah memiliki karakter. Jadi karakter yang harus dibangun adalah karakter yang baik, bila tidak niscaya yang berkembang adalah karakter yang tidak baik. (Fa alhamaha fujuroha wa taqwaha. Qod aflaha man zakkahaa, wa qod khoba man dassaha)

Agar dapat memiliki karakter profetik maka 3 aspek utama dalam diri manusia harus diberikan perhatian secara seimbang, yakni hati, emosi, akal. (Nabi bersabda: Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik), dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak baik). Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)

Beberapa factor penting sebagai ciri karakter profetik, antara lain:

1. Sadar sebagai makhluq ciptaan Tuhan: Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai transendensi.

2. Cinta Tuhan : Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan apapun perintah dan menjauhi larangan-Nya.

3. Bermoral : Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka membantu, dll merupakan turunan dari manusia yang bermoral.

4. Bijaksana : Karakter ini muncul karena keluasan wawasan seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang mampu diambil sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan.

5. Pembelajar sejati: Untuk dapat memiliki wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil kekuatan dari sekian banyak perbedaan.

6. Mandiri: Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai humanisasi dan liberasi. Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa.

7. Kontributif: Kontributif merupakan cermin seorang pemimpin.

Catatan dalam membangun karakter bangsa sejak dini

1. Sistem pendidikan dini yang kita berlakukan terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan.

2. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”). Banyak kita temui murid nilai pelajaran agama tinggi, mungkin 8 atau 9, akan tetapi murid yang bersangkutan tidak mengamalkan ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter hendaknya dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, serta melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.

3. Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik perlu dimulai sejak anak usia dini/prasekolah.

4. Selanjutnya dalam rangka “Membangun Bangsa Berkarakter Mengacu pada Nilai Agama” perlu melalui pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur universal : (1). Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian; (3) Kejujuran; (4) Hormat dan Santun: (5) Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama; (6) Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah; (7) Keadilan dan Kepemimpinan; (8) Baik dan Rendah Hati; dan (9) Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan.

Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Peserta Didik

Berbagai penelitian empiric menunjukkan bahwa; factor guru/dosen memainkan peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter peserta didik. Seorang pakar pendidikan Mujamil Qomar mengatakan dengan mengutip pendapat E.Mulyana bahwa guru merupakan ujung tombak pendidikan., dan guru merupakan pemeran utama proses pendidikan yang sangat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan.(Mujamil Qomar: Menejemen Pendidikan Islam 2007: 21)

GURU: adalah pendidik yang profesional dan memiliki tugas-tugas utama untuk: (1) mendidik, (2) membimbing, (3) mengarahkan, (4) melatih, (5) menilai, dan (6) mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah singkatnya guru bukan hanya meliki tugas mentrasfer pengetahuan, tetapi lebih dari itu tugas para guru/Dosen yang paling utama adalah mampu membentuk peserta didik agar memiliki karakter kebangsaan yang baik.

C. KESIMPULAN/PENUP

”Pilar akhlak (moral) yang dimiliki (member warna) dalam diri seseorang sehingga dia menjadi orang yang berkarakter baik (good character) yang jujur, sabar, rendah hati, Solider, tanggung jawab dan rasa hormat, yang tercermin dalam kesatuan organisasi/sikap yang harmonis dan dinamis.

Tidak adanya tata nilai-nilai, norma dan moral dasar ini (basic moral values) yang senantiasa mengejewantah dalam diri pribadi kapan dan dimana saja, orang dapat dipertanyakan kadar keimanan dan ketaqwaan. Karakter orang yang kuat imannya, antara lain: (1) secara khanif dia patuh pada Tuhannya; (2) dia tertib dan disiplin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan, secara mahdhoh/ritual dan Mu’amalah/sosial; (3) memahami dan menghargai ajaran agama lain, sehingga tercipta kehidupan yang terbuka dan menjunjung tinggi perbedaan seakat didalam perbedaan; (4) memperbanyak kerjasama dalam bidang kehidupan bermasyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, 2003 (cetakan 2, 2006), Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Penerbit Kompas.

H.A.R. Tilaar, 2004 (cetakan 2, 2004), Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rinika Cipta.

Mujamil Qomar, 2007 (cetakan 1, 2007) Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta, Erlangga.