Sabtu, 16 April 2011

PESANTREN

AL-MULTAZAM KHUSNUL KHOTIMAH KAB. KUNINGAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI NEOFUNGSIONALISME (JEFFRY C. ALEXANDER)

Oleh DRS. H. IMAM GOZAI

Mahasiswa Pasca sarjana IAIN SNJ Cirebon

Tugas Matakuliah Sosiologi Pendidikan

A.PENDAHULUA

1. Latarbelakang Istilah pesantren berasal dari kata santri degan awalan pe-dan akhiran an berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yg dikutip oleh Haidar Putra Daulay mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yg belajar agama Islam sehingga dgn demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul utk belajar agama Islam. Ada juga yg mengartikan pesantren adl suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yg bersifat “tradisional” utk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian (2004: 26-27). Dalam kamus besar bahas Indonesia pesantren diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adl lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dgn materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum bertujuan utk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dgn menekankan penting moral dalam kehidupan bermasyarakat. Pondok pesantren secara definitif tak dapat diberikan batasan yg tegas melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yg memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang lebih konkrit karena masih meliputi beberapa unsur utuk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif. Maka degan demikian sesuai degan arus dinamika zaman definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awal pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tak lagi selama benar. Tipologi Pondok Pesantren, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu : · Pesantren yg mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yg diajarkan dipesantren ini sepenuh bersifat keagamaan yg bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yg ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang Jawa tengah dan lain-lain. · Pesantren yg memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun dgn kurikulum yg disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti kurikulum yg ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yg dikeluarkan tak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal. · Pesantren yg merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yg terbanyak jumlahnya. (2002:149-150) · Pesantren yg menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yg sampai Perguruan Tinggi yg tak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adalah contohnya. Dinamika Pondok Pesantren, dalam perspektif sosiologi lembaga penidikan terutama yang berbasis di pesantren ini telah mengalami proses perubahan interaksi khusus komunitas pesantren. Ini menunjukkan bahwa ada gejala- gejala sosial yg dilakukan komunitas pesantren utuk memiliki komunitas tersendiri agar tidak tergangu dengan gaya interaksi masyarakat dalam tanda kutip pergaulan bebas (tidak terkontrol tidak tertib dan tidak memiliki tujuan keilmuan/ Scence oriented) untuk membangun generasi muda berkarakter keagamaan. Hal inilah rupanya yang diterapkan didalam lingkunga komunitas Pondok Pesantren Multazam di Kuningan. Gambaran tentang kehidupan social pesantren ini penulis akan memcoba memandang dari perspektif teori sosiologi Jeffry C. Alexander yang terkenal dengan teori neo fungsionalsme. Bagaimanakah sesungguhnya interaksi sosial yang terjadi di pondok pesantren Al Multazam Kuningan ? Bagaimanak struktur sosial yang ada di pondok Pesantren Multazam Kuningan ? Bagaimanakah interaksi sosial pesantren dengan masyarakat sekitar Pondeok Pesantren Al Multazam Kab. Kuningan ? Sejauh manakan kesesuaian antara interaksi socsal pada komunitas pesantrsn dengan teori sosiologi Neofungsionalsme yang dikembangkan (Grend Theory) oleh Jeffry C. Alexander ? B. PEMBAHASAN 1. Karakteristik Konsep Pemikiran Neofungsionalisme Pertama, neofunctionalism beroperasi dengan model penggambaran masyarakat yang melihat bahwa masyarakat terdiri dari unsur-unsur yang terpola. Pola ini memungkinkan sistem untuk dibedakan dari lingkungannya. Bagian dari sistem ini adalah "hubungan simbiosis," dan interaksi mereka tidak ditentukan oleh beberapa bentuk yang menyeluruh. Dengan demikian, neofunctionalism menolak setiap monocausal determinisme, terbuka dan pluralistik. Kedua, Alexander berpendapat neofunctionalism yang mencurahkan perhatian yang sama terhadap tindakan dan ketertiban. Neofunctionalism juga dimaksudkan untuk memiliki arti tindakan luas, tidak hanya rasional tetapi juga tindakan yang ekspresif. Ketiga, neofunctionalism mempertahankan kepentingan struktural-fungsional dalam penggabungan, bukan sebagai fakta tetapi lebih sebagai kemungkinan sosial. Keempat, neofunctionalism menerima penekanan Parsonsian tradisional pada kepribadian, budaya, dan sistem sosial. Selain menjadi penting untuk struktur sosial, penafsiran dari sistem ini juga menghasilkan ketegangan untuk perubahan dan kontrol. Kelima, neofunctionalism berfokus pada perubahan sosial dalam proses pembedaan sistem sosial, budaya, dan kepribadian. Jadi, perubahan tidak disebabkan pada "ketegangan individu dan lembaga" (Alexander, 1985a: 10). 2.Profel Ponpes Al Multazam Husnul Khotimah Sekolah Islam Terpadu (SIT) Al Multazam berdiri tahun 2002. Permulaan kerja membangun sistem manajemen sekolah tersebut pada bulan Desember 2002 yaitu dengan membuka program SDIT pada bulan juli 2002. Setahun kemudian dibuka program untuk SMPIT, yang tepatnya pada tahun pelajaran baru Juli 2003-2004. Sekolah Islam Terpadu Al Multazam biasa disingkat dengan sebutan SIT Al Multazam Boarding School. SIT Al Multazam Boarding School berdiri dibawah Yayasan Pendidikan Islam Al Multazam Husnul Khotimah. Yayasan tersebut berdiri dan diresmikan pada tanggal 2 Mei 2002 dengan akte pendirian Hjh. Itje Tresnawiyah, SK. No. 3 Tanggal 2 Mei 2002. Status SMPIT AL Multazam swasta murni dan pada Januari 2006, SMPIT Al Multazam telah terakreditasi A (Amat Baik) oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kuingan. 3. Struktur Yayasan Pendidikan Islam Al-Multazam Husnul Khotimah Susunanan pengurus lembaga pendidikan Pondik Pesantren Al Multazam Khusnul Khotimah yang dapat penulis sajikan dari hasil survey di lokasi pada tanggal 14 Nopember 2010 dengan responden pengurus lembaga ependidikan tersebut adalah sebagai berikut: a. Dewan Pendidri H. Sahal Suhan, SH. Pandu Suandhana H. Maman Kurman, SH. Titi Dwi Wulandari. Tita Eka Puspita b. Pembina Yayasan: H. Sahal Suhana, SH. Pandu Swandana Tita Eka Puspita Titi Wulandari c. Dewan Pengawas: KH. Kosasih Thoyib, Lc. MH. Pengurus Yayayasan: Ketua Yayasan: H. Maman Kurman, SH. d.Sekretaris: Asep Saputra e. Bendahara: Hj. Nining Rimawati f. Mudir: KH. Abdul Rosyid, Lc. M.Ag. 4. Profil Sekolah 1. Nama : SMP Islam Terpadu Al-Multazam 2. Nama Yayasan : YPI Al-Multazam Husnul Khotimah 3. Alamat yayasan : Desa Maniskidul Kec. Jalaksana Kab. Kuningan 4. Kepala Sekolah : Dul Ahmad Bachtiar, Lc. M.Pd.I 5. SK Pendirian : 421.2/88/Sosial 6. NPSN : 20246363 5. NSS : 202021512037 6. Jenjang Akreditasi : A (Amat Baik), Tahun 2006 7. Status Tanah : Milik Yayasan a. Surat Kepemilikan Tanah : Pribadi b. Luas Tanah : 15.000 m2 8. Data Siswa tahun 2009-2010 : 530 siswa 9. Data Ruang Kelas : 16 Ruang kelas (status milik sendiri) 10. Jumlah Rombongan belajar : 6 Rombongan belajar Kelas VII 5 Rombongan Belajar Kelas VIII 5 Rombongan Belajar Kelas IX 11. Guru : 39 orang 12. Kegiatan Belajar Mengajar : Pagi, Siang, dan Malam. 13. Sumber Dana Operasional : a. SPP (Sumbangan Pemb. Pendidikan) b. BOS 14. Sarana dan Prasarana Fisik : Memamadai, Sebagaimana terlihat pada gambar berikut : [Image]1[Image] 2[Image]3[Image]4[Image]5 [Image]6[Image]7[Image]8[Image]9[Image]10Keterangan Gambar: 1.Kantor 2.Gedung SMP 3. Gedung SMA 4.Ruang Belajar Putri 5.Lab. Komputer Putra 6.Lab. Komputer Putri 7. Lab. Bahasa 8.Ruangan Masjid 9.Gedung SD 10. Lapangan Olahraga Basket, Bola Voly dan Bulu Tangkis 15. Visi SMPIT Al-Multazam adalah :"Menjadi sekolah unggulan kebanggaan umat". 16. Misi SMPIT Al-Multazam adalah sebagai berikut : 1. Mewujudkan sekolah yang professional 2. Menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efesien dengan pemanfaatan sumber daya yang ada. 3. Menciptakan budaya dan iklim pendidikan yang Islami. 4. Menciptakan tenaga kependidikan yang berkualitas, profesional, haroki dan Islami. 5. Mencetak ulama intelektual dan intelektual ulama. 6. Mengkader generasi dengan aqidah yang benar dan bersih serta memiliki akhlaqul karimah. 17. Tujuan Pendirian Sekolah : 1. Menyediakan lembaga pendidikan Islam alternatif. 2. Menjalankan amanah ummat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. 3. Membangun institusi pendidikan yang Islami yang dapat menyiapkan siswa unggul. 4. Menjadi mitra keluarga dan masyarakat dalam mendidik generasi muda yang berkualitas dan kompetitif. 5. Mempersiapkan SDM yang tangguh dan siap menghadapi tantangan kehidupan global. 18. Program Unggulan SIT Al-Multazam : 1. Tahfizhul Qur'an 2. Membiasakan berbahasa Inggris dan Arab aktif. Oleh karena itu, ditetapkan hari wajib berbahasa asing. 3. Olah Raga Prestasi. 4. Teknologi Informasi dan Komputer. 5. Matematika dan Sains (MIPA) 6. Belajar menerapkan cara hidup Islami. 7. Lingkungan Pembelajaran yang sangat mendukung. 8. Tanah dan bangunan milik sendiri 5. Diskripsi Umum Menejemen Pesantren Al Multazam Perilaku kepemimpinan kharismatik-tradisional pesantren sebenarnya bersandar kepada keyakinan bahwa kyai mempunyai kualitas luar biasa yang bersifat teologis, hal ini merupakan daya tarik pribadi kyai sebagai pemimpin-kekuasaannya berasal dari Tuhan. Fenomena kepemimpinan secara kolektif bersandar pada pembagian peran, tugas dan kekuasaan secara bersama, sehingga lahirnya kepemimpinan kolektif di pesantren diasumsi sebagai usaha bersama untuk mengisi jabatan baru karena tuntutan sosial masyarakat.Perubahan kepemimpinan tunggal yang mengacu pada figur kyai tertentu pada pola kepemimpinan kolektif semacam ini ternyata tidak menampik otoritas kyai yang menjadi ciri utama pesantren Al Multazam Khusnul Khotimah Kuningan, bahkan menempatkan kyai sebagai pengasuh yang terlembaga dalam dewan pengasuh (Lihat pada Struktur Yayasan Pendidikan Islam Al-Multazam Husnul Khotimah) Pengurus harian dan yayasan yang bertugas membenahi operasionalisasi yang dipegang oleh kyai muda dibantu sejumlah alumni dan santri, sehingga terjadi diversivikasi wewenang yang relatif merata, keputusan tidak muncul sepihak melainkan melalui mekanisme musyawarah seluruh komponen yang ada dalam kepengurusan dan yayasan pesantren. Observasi ini bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku kepemimpinan kolektif di pesantren. Beberapa hal yang dapat dideskripsikan sehubungan dengan fokus penelitian ini adalah; perilaku kepemimpinan kepemimpinan kolektif di pondok pesantren dalam proses pengambilan keputusan, pengendalian konflik, dan pembangunan tim. Sub fokusnya adalah; perilaku kepemimpinan, sumber otoritas dan ghirah kepemimpinan kolektif dan proses pengambilan keputusan, penyelesaian konflik dan pembangunan tim. Observasi ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif berjenis studi multi situs pada tiga pondok pesantren di Jawa Timur; yaitu pesantren Bani-Djauhari Prenduan, pesantren Bani-Syarqawi Guluk-Guluk Kota Garam Sumekar dan di pesantren Bani-Basyaiban Kraton Kota Santri. Dalam menggali data peneliti banyak menggunakan wawancara mendalam dengan para kyai fungsionarisDewan Pendiri, Dewan Pengawas, dan Dewan Pengurus, serta dari para pengurus harian-majlis a'wan, asatidz, dan santri. Serta melalui observasi dan dokumentasi, data-data dianalisis secara interaktif dan komparatif konsan. Dari hasil observasi diketahui bahwa; pertama,perspektif kepemimpinan kolektif pesantren, semula teraktualisasi dari proses sosial-kultural, kemudian pada perkembangannya berubah kepada proses sosial-struktural berbentuk organisasi yang beranggotakan kyai-kyai/Asatidz dan kemudian disebut "Dewan Pengurus" yangmemimpin dan mengasuh santri secara bersama-sama (berjemaah) atau collective didasarkan pada seniouritas (masyayikh) dari garis kekerabatan (kinship), dengan kedudukan majlis kyai sebagai badan tertinggi di pesantren, secara fungsional merupakan pembina pengurus harian dan pengurus yayasan, yang dibantu oleh majlis pengasuh putri, majlis a'wan dan pengurus pleno. Dan sedangkan kolektivitas kepemimpinan dalam majlis kyai berkecenderungan pada perilaku kepemimpinan kolektif-partisipatif bergantung kepada kapasitas peran dan otoritas yang dipenuhi para kyai, serta kewenangan yang diberikan kepada kyai muda. Kedua, kewenangan dewan- dewan tersebut secara kolektif di pesantren bersumber dari kesadaran bersama pada norma-norma yang telah diatur bersama, serta kesadaran personal beberapa kyai bersumber dari nilai-nilai keagamaan yang diyakini berupa kharisma (charismatic-religious), yang mempunyai tujuan dan ghirah pelembagaan kepemimpinan di pesantren Al Multazam Khusnul Khotimah Kuningan ini sebagai upaya pembagian tugas dan kekuasaan, sebagai wadah bermusyawarah, upaya kesinambungan pesantren dimasa-masa mendatang, responsif terhadap persoalan pendidikan masayarakat, dan meneladani Rasul Muhammad saw., sebagai pemimpin sejati. Dan sedangkan perilaku kepemimpinan kolektif di pesantren didukung oleh faktor kepribadian, faktor pendidikan, faktor pengalaman, dan faktor lingkungan para Asatidz di pesantren. Ketiga, Perilaku proses pengambilan keputusan majlis Asatidz dilakukan melalui musyawarah dan inisitif-inisiatif sebagai proses penetapan tujuan dan sosialisasi program dalam memperkaya gagasan dan keterlibatan semua pihak. Demikian juga proses penyelesaian konflik bersifat individual, mediasi, klarifikasi(tabayyun), proses ikrar dan perjanjian (tajdidun niyah), dan proses mija hijau (mahkamah), sebagai upaya penegakan syari'ah. Sedangkan proses pembangunan tim dilakukan melalui proses intensitas pertemuan dan pemerataan komunikasi diantara pengurus, pemanfaatan moment-moment, pelibatan para Nyai di pesantren, serta pemberian kompensasi (bisyaroh). Implikasi obserfasi ini dapat mengilhami pola kepemimpinan pesantren yang selama ini dipimpin secara tradisional, kompensional dan individual minded. Kemudian pembagian kekuasaan dan wewenang, serta tugas dan fungsi kepemimpinan akan semakin jelas dan terarah, karena menurut peneliti problem yang akan diahadapi pondok pesantren dimasa-masa mendatang semakin kompleks, sehingga refresentasi kepemimpinan kolektif semakin mungkin untuk modalitas perilaku kepemimpinan yang berkesinambungan (continual leadership) dan situasional kolektif-partisipatif. C. KESIMPULAN Dari latar belakang juga pembahasan Konsep teori sosiologi Jeffry C. Alexander, Profil dan gambaran umum tentang implementaqsi menejemn pengelolaan Pondok Pesantren Al Multazam Khusnul Khotimah, maka makalah ini dapat disimpulkan bahwa; Petama, proses aktivitas sosial di lingkungan pondok pesantren Al Multazam Khusnul Khotimah Kab. Kuningan secara tidak disadari oleh fihak lembaga tersebut sebagian telah mengimplementasikan konsep sosiologi Jeffry C. Aleksander ini tergambar dari pelaksanaan menejemen yang mengakibatkan komunitas pesantren ini terdiri dari unsure- unsure yang terpola. Penulis katakan baru nampak sebagian implementasi neofungsionalisme pada tataran interksi komunitas pesantren tersebut karena interaksi sosialnya masih Mono monocausal determinisme, tidak terbuka dan pruralistik. Kedua, Proses interaksi antar santri sudah nampak adanya aplikasi teori sosiologi neofungsionalisme Jeffry C. Alexander, terbukti adanya hubungan yang simbiosisdiantara para pengurus dengan pengurus, antara pengurus dengan santri, antara santri santri dengan santri dan antara pengurus Ponpes dengan para wali santri, antara fihak komunitas pesantren dengan masyarakat sekitar pesantren (Tetangga Pondok Pesantren/komunitas luar Pondok Pesantren). Dalam penulisan makalah ni pasti banyak kekurangan, maka penulis mohon saran den masukan untuk perbaikan. Terimakasih semoga bermanfaat, Amin…

RIWAYAT HIDUP JEFFREY C. ALEXANDER
Translit Indonesia
Oleh : DRS. H. IMAM GOZALI
(Mahasiswa Pascasarjana IAIN SNJ Cirebon)
Tugas Matakuliah Sosiologi Pendidikan

[Image] URAIAN SINGKAT TENTANG RIWAYAT HIDUP JEFFREY C. ALEXANDER (Translation – Indonesia) Sejak pertama kali saya menjadi seorang intelektual saya sudah terbiasa bergelut dengan masalah-masalah aksi sosial dan tata tertib sosial serta kemungkinan membangun pendekatan-pendekatan terhadap permasalahan tersebut untuk menghindari pemikiran yang ekstrim. Saya juga selalu yakin bahwa ketegangan antar kubu yang vital seperti ideology yang berkembang saat ini dalam sebuah masyarakat yang demokratis, dapat diselesaikan dalam teori kenegaraan.Teori saya mengacu pada peristiwa tahun 1960 dan awal tahun 1970. Saat itu saya bergabung dalam aksi mahasiswa ketika saya belajar di Havard College dan di Universitas California, Berkley, setelah saya lulus. Marxisme kiri yang baru memainkan peran yang bagus untuk mengatasi gerakan ekonomi dari Marxisme yang keras, mereka berusaha untuk memasukkan kembali para tokohnya ke dalam sejarah. Karena gerakan tersebut menjelaskan bagaimana susunan masyarakat ditafsirkan dengan budaya, kepribadian dan kehidupan sehari-hari. Marxisme kiri yang baru -lebih baik atau lebih buruk itu tergantung pemikiran kita masing-masing- memberikan latihan penting yang pertama bagi saya untuk dijadikan sintesa teori yang menunjang karir intelektual saya. Pada awal 1970, saya menjadi tidak puas dengan Marxisme kiri yang baru dalam hal alasan politik dan empiris. Gerakan tersebut menjadi keras dan membuat saya tertekan, sedangkan krisis Watergate sedang mengecam Amerika. Saya memutuskan bahwa masyarakat kapitalis demokratis memberikan keuntungan untuk pemisahan, keberagaman dan perbaikan, hal tersebut tidak bisa dimimpikan meskipun oleh pemikiran Marxisme kiri baru. Namun, ada juga alasan teoritis yang lebih abstrak untuk meninggalkan pendekatan Marxis untuk sintesis berikutnya. Saya lebih menggunakan teori klasik dan kontemporer, saya menyadari bahwa sintesis ini lebih dipengaruhi oleh hubungan -physicoanalitic-Marxisme, Marxisme budaya, fenomenologis Marxisme-daripada dengan membuka pusat tindakan dan ketertiban. pada kenyataannya, neo Marxisme dalam hal kesadaran, tindakan, masyarakat, dan budaya adalah kunci utama. pengakuan ini membawa saya pada tradisi yang memasok sumber daya teoritis atas Marxisme kiri yang baru telah ditarik. Saya beruntung dalam upaya meluluskan siswa yang akan dibimbing oleh Robert Bellah dan Neil Smelser yang ide-ide tentang budaya, struktur sosial dan teori sosiologi membuat kesan yang tak terhapuskan kepada saya sampai hari ini. Dalam Theoretical logic in Sociology(1982-1983) saya menerbitkan hasil dari upaya ini. ide ini bekerja multivolume mulai tumbuh pada tahun 1972, setelah pertemuan luar biasa dengan karya Talcott Parson's. Struktur aksi sosial, memungkinkan saya untuk melihat masalah saya dengan Marxisme dengan cara baru. kemudian di bawah pengawasan Bellah, Smelser dan Leo Lawenthal saya bekerja melalui teori klasik dan kontemporer dengan kerangka kerja baru dalam pikiran. Ambisi saya dalam teori logika adalah untuk menunjukkan bahwa Durkheim dan Weber menyajikan secara luas teori budaya yang telah diabaikan Marx dan bahwa Weber sebenarnya mengembangkan sintesis sosiologis nyata pertama. Saya menyimpulkan, bagaimanapun, bahwa Durkheim akhirnya bergerak dalam arah yang idealis dan mengembangkan pandangan mekanistik masyarakat modern. Saya menyarankan bahwa karya Parson itu harus dilihat sebagai upaya yang mengagumkan dan modern sebagai sebuah sintesa daripada sebagai teori dalam modus fungsionalis. Namun, Parson juga gagal dalam mengejar sintesis dengan cara yang benar-benar ditentukan, sehingga teorinya menjadi terlalu formal dan berbasis normatif. Namun, dalam usaha untuk menuju kepada teori tahap "pasca-Parsonsian" baru, Saya juga sudah mencoba untuk melalui teori klasik dan modern. Pertemuan saya dengan kelompok kuat dan fenomenal di departemen saya di UCLA, terutama dengan Harold Garfinkel, itu merupakan pendorong penting. Dalam "Action and Its Environment" (1987), yang masih saya anggap sebagai bagian yang paling penting dari teori saya, saya meletakkan kerangka kerja sebagai sebuah artikulasi baru dari mata rantai mikro-makro. Saya juga berkonsentrasi dalam mengembangkan teori budaya baru. Pembacaan awal Clifford Geertz meyakinkan saya bahwa pendekatan ilmu pengetahuan tradisional sosial dan budaya terlalu terbatas. Sejak saat itu, pendekatan saya telah kuat dipengaruhi oleh semiotika, hermeneutika dan pemikiran pascastrukturalis. Menggabungkan teori-teori dari luar sosiologi. Saya telah mencoba untuk berteori dengan bermacam-macam cara di mana struktur sosial diserap oleh kode-kode simbolik dan makna (lihat Alexander, 1998a). Saya percaya gerakan ini menjadi sintesa teori yang didukung oleh peristiwa-peristiwa di dunia pada umumnya. Dalam dunia postcommunist, tampaknya penting untuk mengembangkan model yang membantu kita memahami hal yang kompleks dan inklusif, sangat rapuh, dan demokratis. Saya saat ini bekerja pada teori demokrasi yang menekankan pada dimensi komunal, saya juga menerbitkan kumpulan esai yang saya tulis untuk mengkritik berkembangnya relativisme dalam studi manusia "masyarakat sipil.". Saya yakin, walaupun banyak bukti yang bertentangan, bahwa kemajuan mungkin tidak hanya dalam masyarakat tetapi juga dalam ilmu sosiologi. Hanya melalui pandangan multidimensi dan sintetik kemajuan masyarakat tersebut dapat dicapai. Meskipun tidak ada pertanyaan tentang langkah neofunctionalism, tetapi hal tersebut masih diragukan seperti halnya pendapat Colomy.
Meskipun neofunctionalism mungkin bukan teori yang dikembangkan, Alexander (1985a; lihat juga Colomy, 1990b) telah menggariskan beberapa orientasi dasarnya. \Pertama, neofunctionalism beroperasi dengan model penggambaran masyarakat yang melihat bahwa masyarakat terdiri dari unsur-unsur yang terpola. Pola ini memungkinkan sistem untuk dibedakan dari lingkungannya. Bagian dari sistem ini adalah "hubungan simbiosis," dan interaksi mereka tidak ditentukan oleh beberapa bentuk yang menyeluruh. Dengan demikian, neofunctionalism menolak setiap monocausal determinisme, terbuka dan pluralistik. Kedua, Alexander berpendapat neofunctionalism yang mencurahkan perhatian yang sama terhadap tindakan dan ketertiban. Hal tersebut menghindari kecenderungan fungsionalisme struktural untuk fokus pada sumber daya tingkat-makro dalam struktur sosial dan budaya dan memberikan perhatian terhadap pola tingkat-mikro yang lebih condong pada tindakan. Neofunctionalism juga dimaksudkan untuk memiliki arti tindakan luas, tidak hanya rasional tetapi juga tindakan yang ekspresif. Ketiga, neofunctionalism mempertahankan kepentingan struktural-fungsional dalam penggabungan, bukan sebagai fakta tetapi lebih sebagai kemungkinan sosial. Neofunctionalism mengakui bahwa penyimpangan dan kontrol sosial adalah realitas dalam sistem sosial. Ada kekhawatiran terhadap keseimbangan dalam neofunctionalism, tetapi perhatian neofunctionalism lebih luas daripada perhatian fungsional struktural yang membatasi perhatiannya pada pergerakan dan pembagian keseimbangan. Ada keengganan untuk melihat sistem sosial yang ditandai dengan kesetimbangan statis. Equilibrium atau keseimbangan, didefinisikan secara luas, dipandang sebagai titik acuan untuk analisis fungsional tetapi bukan sebagai deskripsi tentang kehidupan individu dalam sistem sosial yang sebenarnya.
Keempat, neofunctionalism menerima penekanan Parsonsian tradisional pada kepribadian, budaya, dan sistem sosial. Selain menjadi penting untuk struktur sosial, penafsiran dari sistem ini juga menghasilkan ketegangan untuk perubahan dan kontrol. Kelima, neofunctionalism berfokus pada perubahan sosial dalam proses pembedaan sistem sosial, budaya, dan kepribadian. Jadi, perubahan tidak disebabkan pada "ketegangan individu dan lembaga" (Alexander, 1985a: 10).
Akhirnya, Alexander berpendapat bahwa neofunctionalism "menyiratkan komitmen terhadap kemerdekaan konseptualisasi dan teorisasi dari analisis sosiologi yang lain. (1985a: 10).
Sedangkan Alexander telah mencoba untuk melukiskan neofunctionalism pada umumnya, Colomy (1986) telah menangani lebih khusus dengan teori fungsional-struktural revisi perubahan. Dia berpendapat bahwa teori fungsional struktural ("teori diferensiasi") yang berasal dari teori Parsonsian memiliki tiga kelemahan dasar. Pertama, sangat abstrak dan kurang kekhususan empiris dan historis. Kedua, tidak mencurahkan perhatian yang cukup untuk kelompok-kelompok yang ada dan proses-proses sosial atau untuk kekuasaan dan konflik. Ketiga, terlalu menekankan pada integrasi yang dihasilkan oleh perubahan struktural.
Sebagai hasil dari kritik teori perubahan fungsional struktural, telah mengalami beberapa revisi. Pertama, tren master asli (diferensiasi progresif) telah dilengkapi dengan analisis dari pola yang asli. Misalnya, dalam hal perbedaan, masyarakat sudah berpengalaman untuk mengurangi pebedaan, atau "jenis perubahan struktural yang menolak kompleksitas dan bergerak pada menurunnya tingkat perbedaan pada organisasi sosial" (Colomy, 1986:143). Penurunan perbedaan tersebut mungkin terjadi sebagai akibat dari ketidakpuasan dengan modernisasi,"pembangunan yang tidak adil" di berbagai bidang kelembagaan serta "perlakuan tidak seimbang" dalam suatu institusi tunggal. Perbedaan tidak merata mengacu pada tingkat yang bervariasi dan tingkat perbedaan dari sebuah institusi tunggal ... ... ... perbedaan tidak rata menunjukkan, bahwa unsur utama perubahan menunjukkan pada angka dan derajat yang berbeda dari masyarakat (Colomy, 1990c: 122). Kedua, revisi telah mendorong teori diferensiasi (perbedaan) lebih menaruh perhatian pada bagaimana mengubah efek kelompok kuat serta bagaimana perubahan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kekuasaan, konflik, dan kontinjensi (Colomy, 1990d). Berbagai kelompok tertentu telah diidentifikasi sebagai pendorong perubahan ke arah perbedaan yang lebih besar, seperti kelompok yang telah beroposisi terhadap perubahan tersebut. Sudut pandang dari para perevisi 'memfokuskan pada konflik antar kelompok akibat dari perbedaan dan bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang mungkin diambil. Garis besar sejarah dan empiris yang disajikan dalam penelitian ini tertuju pada kelompok-kelompok yang bertentangan yang terlibat dalam proses diferensiasi (perbedaan). Penelitian ini juga memperluas penekanannya terhadap integrasi (penyatuan), dalam hal Parsonsian, "perhatian terus-menerus terhadap potensi pertentangan dan ketegangan yang terkait dengan perbedaan di dalam sistem budaya, sosial, dan kepribadian" (Colomy, 1986:149). Upaya ini, dalam pandangan Colomy, membuahkan penjelasan kerangka kerja yang lebih komprehensif untuk menganalisis diferensiasi. Ketiga, teori diferensiasi awalnya difokuskan pada efisiensi dan reintegrasi sebagai akibat dari proses diferensiasi, tetapi saat ini susunannya jauh lebih luas.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa meskipun teori diferensiasi telah diperluas, tetapi teori tersebut kehilangan cirri khas setelah memfokuskan pada konflik dan kompetisi. Banyak sekali prinsip-prinsip yang telah diambil dari para intelektual lain sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah bisa disebut sebagai "fungsionalisme struktural" atau bahkan "neofunctionalism." Baru-baru ini, Colomy dan Rhodes (1994) berpendapat bahwa teori diferensiasi perlu bergerak di lain arah integratif. Artinya, "bias makro" teori diferensiasi perlu diatasi dengan penggambaran "perbaikan mikro". Menengok pada peristiwa sebelumnya dalam fungsionalisme struktural, Colomy dan Rhodes menyarankan bahwa teori diferensiasi memulai koreksi antara lain dengan mengintegrasikan pendapat individu dan kelompok-kelompok kecil yang memimpin perubahan masyarakat yang disebut "institusional entrepreneur (pengusaha kelembagaan)." Ini adalah "penggerak dan pelopor" yang ada di posisi strategis yang memberikan "dorongan dan arah" untuk proses diferensiasi. Secara khusus, pengusaha kelembagaan dicirikan oleh kemampuan mereka untuk "merealisasikan perluasan symbol-simbol dengan cara-cara baru, menyampaikan tujuan yang spesifik, dan membangun normatif yang baru dan kerangka organisasi untuk mengejar tujuan kelembagaan mereka" (Colomy dan Rhodes, 1994:554). Seseorang tidak seharusnya hanya fokus pada orang yang mengubah tetapi juga pada proses mikro seperti penggabungan yang mereka bentuk, serta pertukaran di antara mereka, serta sekutu dan lawan mereka. Dengan koreksi ini, Colomy dan Rhodes mengakui bahwa diferensiasi tidak hanya tergantung pada tingkat makro adaptasi dari sistem terhadap lingkungannya, tetapi juga bergantung pada tindakan tingkat mikro yang diambil oleh para pengusaha institusional. Kembali ke neofunctionalism secara umum, Alexander dan Colomy (1990a) mebidik pada klaim yang sangat ambisius tersebut. Mereka tidak melihat neofunctionalism sebagai, dalam istilah mereka, "elaborasi" atau "revisi" dari fungsionalisme struktural melainkan lebih dramatis lagi yaitu sebagai "rekonstruksi" yang jelas berbeda dengan pendirinya (Parsons) yang diakui secara tegas oleh para pencipta teori dan teori-teori yang lain. Upaya yang dilakukan untuk mengintegrasikan ke dalam wawasan neofunctionalism dari masternya, seperti karya Marx pada struktur material dan Durkheim pada simbolisme. Dalam upaya untuk mengatasi bias neofunctionalism structural Parsonsian, terutama penekanan pada fenomena makro-subjektif seperti budaya, pendekatan materialis lebih ditekankan. Kecenderungan struktural-fungsional menekankan urutan didasari oleh sebuh panggilan untuk menyesuaikan dengan teori perubahan sosial. Yang paling penting untuk menanggulangi bias tingkat makro-struktural neofunctionalism tradisional adalah usaha-usaha dilakukan untuk mengintegrasikan ide dari teori perubahan, interaksionisme simbolik, pragmatisme, fenomenologi, dan sebagainya. Dengan kata lain, Alexander dan Colomy berupaya untuk mensintesis fungsionalisme struktural dengan sejumlah prinsip teoritis lainnya. Seperti sebuah rekonstruksi, hal tersebut dapat dbangun dan disediakan dasaruntuk membangun teori yang baru.
Alexander dan Colomy mengakui perbedaan penting antara neofunctionalism dan fungsionalisme struktural.
Penelitian sebelumnya fungsional dipandu oleh ... ... membayangkan satu, semua skema konseptual merangkul yang mengikat bidang penelitian khusus ke dalam satu paket. Untuk tujuan apakah yang dilakukan oleh neofunctionalist, sebalikny hgal tersebut merupakan sebuah paket yang terorganisir secara longgar, satu hal diorganisir oleh beberapa logika umum disekitarnya dan memiliki sejumlah "perkembangbiakkan" dan "variasi" pada tingkat yang berbeda dan dalam bidang empiris yang berbeda.
(Alexander dan Colomy, 1990a: 52) Pemikiran Alexander dan Colomy menunjukkan menjauhnya Parsonsian dari kecenderungan untuk melihat fungsionalisme struktural sebagai teori yang menyeluruh. Sebaliknya mereka menawarkan lebih terbatas, lebih sintetis, tapi masih sebagai teori yang holistik.
Namun, seperti ditunjukkan di awal bab ini, masa depan neofunctionalism telah ditempatkan ke dalam keraguan oleh fakta bahwa pendiri terkemuka, Jeffrey Alexander, telah membuat semakin jelas bahwa ia telah melampaui pandanagn neofunctionalism. Pergeseran dalam pemikiran terlihat dalam judul bukunya yang segera akan dipublikasikandengan judul Neofunctionalism dan Sesudahnya (Alexander, akan terbit). Alexander berpendapat bahwa salah satu tujuan utamanya adalah pembentukan (kembali) dari legitimasi pentingnya teori Parsonsian. Neofunctionalism telah berhasil dalam upaya ini, Alexander menganggap proyek neofunctionalist telah selesai. Dengan demikian, fungsionalisme struktural siap untuk bergerak melampaui Parsons Neofunctionalism, meskipun ia menjelaskan bahwa arah masa depan teoretisnya akan sangat berhutang budi kepada keduanya. Neofunctionalism telah tumbuh dengan terbatas, Alexander menyebutnya sebagai "gerakan teoritis baru." Seperti sebuah pandangan teori masing-masing akan lebih sintetis dari neofunctionalism, dan lebih dipilih. Secara khusus, Alexander berusaha untuk melakukan lebih banyak lagi dengan perkembangan teori microsociological dan budaya. Alexander merasa semakin khawatir dengan isu "masyarakat sipil."Meskipun isu tersebut tidak terbatas pada neofunctionalism. Ketertarikan Aleander adalah penting untuk dirinya sendiri, seperti halnya fakta bahwa masalah ini merupakan perhatian dari ilmu sosiologi secara umum (misalnya, lihat Cohen dan Arato, 1992; Seligman, 1993b). Untuk tujuan kita, kita dapat bekerja dengan (1993:797) definisi masyarakat sipil Alexander sebagai "bidang interaksi, lembaga, dan solidaritas yang menopang kehidupan publik di luar dunia ekonomi dan negara." Tidak seperti kekhawatiran sebagian besar sosiolog, fokus di sini adalah bukan pada lembaga-lembaga sosial, tetapi pada apa yang terjadi di luar lembaga tersebut. masyarakat sipil, untuk Alexander, meliputi suatu kepentingan voluntarisme individual dan solidaritas kolektif. Fokus dari teori sosiologis telah banyak bergeser kepada masyarakat sipil. Meskipun dalam tahap awal, pemikiran Alexander terhadap masyarakat sipil merupakan fokus substantif di luar neofunctionalism. Sementara ia jelas menggambarkan pada prinsip struktural-fungsional dan neofunctional, Alexander juga mengembangkan teorei baru dengan karyanya pada masyarakat sipil. Bagaimanapun nasib dari karya Alexander, dia telah membuat orang tertarik untuk menanyakan masa depan neofunctionalism. Perkembangan sosiologi bergerak cepat dan sangat mungkin bahwa gerakan baru satu dekade kemarin akan menjadi bagian dari sejarah kita.

Nilai Islam Sebagai AcuanPendidikan Karakter

PENDIDIKAN KARAKTER
Sebuah Kajian Tentang
(Tata Nilai Agama Sebagai Acuan Membangun Karakter Bangsa)

Disusu Oleh DRS. H. IMAM GOZALI

(MAHASISWA PASCASARJANA IAIN SNJ CIREBON)

Tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan

I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kondisi Bangsa Dewasa ini (era global)
Fakta sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia tidak pernah berhenti dalam menyelenggaanrakan program pendidikan dalam keadaan bagaimanapun juga. Namun hingga saat ini keadaan bangsa kita masih mengalami kondisi yang yang tidak kondusif. Bahkan fenomena yang muncul adalah berkembangnya prilaku baru yang sebelum era global tidak banyak muncul, kini cenderung meluas, fenomena tersebut antara lain: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan masyarakat; (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, cenderung tidak menggunakan kata baku; (3) pengaruh peer-group (geng) yang kuat dalam tindak kekerasan; (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; (6) menurunnya etos kerja; (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; (9) membudaya-nya ketidakjujuran; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Berikut juga fenomena yang tidak dapat dipungkiri dan tidak dapat dihindari oleh sebagian masyarakat moderen, yakni:
(1). Masa balita, pendidikan dan pengasuhan balita diserahkan kepada pembantu yang notabene kurang memiliki cukup kemampuan sebagai pendidik;
(2). Masa remaja, pembinaan remaja di luar rumah atau kelas diserahkan kepada masyarakat, yang ternyata kondisinya tidak kondusif bagi pengembangan karakter.
(3). Masa dewasa, integrasi masyarakat tidak menentu, tidak ada saling mempercayai (trust), kehidupan semu, tidak tulus, ABS, budaya munafik, dll.
II. PEMBAHASA
B. Batasan Istilah Obyek Kajian ?
1. Hakekat Karakter
Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Sedangkan karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir. Lebih lanjut Simon Philip mengartikan bahwa karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.
Paling tidak ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Sedangkan Imam Al-Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Dari berbagai pendapat pendapat yag telah disebutkan tersebut, maka dapat difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya.
2. Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.

C. Membangun Bangsa Berkarakter
Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan karakter kepada para muridnya, maka akan tercipta pula murid yang berkarakter. Demikian pula sebaliknya. Kita faham Tuhan tidak merubah keadaan suatu kaum biala mereka tidak berusaha melakukan perubahan itu. (innalloha laa yughoyyiru maa biqoumin hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim).
D. Lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia:
1. Transendensi: Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Dari kesadaran ini akan memunculkan sikap penghambaan semata-mata pada Tuhan yang Esa. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa;
2. Humanisasi: Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi. Kemanusiaan yang adil dan beradap;
3. Kebinekaan: Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan, Persatuan Indonesia;
4. Liberasi: Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5. Keadilan: Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi proporsional. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk menyelenggarakan pendidikan karakter, perlu adanya powerfull ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter. Powerfull ideas ini meliputi: (1) God, the World & Me (gagasan tentang Tuhanyang maha pencipta, dunia, dan saya: QS.Al’Alak :1-2); (2) Knowing Yourself (memahami diri sendiri); (3) Becoming a Moral Person (menjadi manusia bermoral); (4) Understanding & Being Understood Getting Along with Others (memahami dan dipahami); (5) A Sense of Belonging (bekerjasama dengan orang lain); (6) Drawing Strength from the Past (mengambil kekuatan di masa lalu); (7) Dien for All Times & Places; (8) Caring for Allah’s Creation (kepedulian terhadap makhluq); (9) Making a Difference (membuat perbedaan); dan (10) Taking the Lead.
Adapun nilai-nilai luhur yang perlu diajarkan agar menjadi sikap hidup sehari-hari menurut Dr Sukamto, antara lain meliputi: Kejujuran; Loyalitas dan dapat diandalkan; Hormat; Cinta; Ketidak egoisan dan sensitifitas; Baik hati dan pertemanan; Keberanian; Kedamaian; Mandiri dan Potensial; Disiplin diri dan Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian; dan Keadilan dan kasih sayang. Seorang intelektual hendaknya berkarakter kenabian/profetik (berjiwa agama) memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
Karakter manusia “sempurna” sebagaimana ditampilkan oleh para Nabi dalam kehidupan sehari-hari. Bila seseorang memahami akhlak para nabi (sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad saw) dan turut mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari berarti orang tersebut telah memiliki karakter. Jadi karakter yang harus dibangun adalah karakter yang baik, bila tidak niscaya yang berkembang adalah karakter yang tidak baik. (Fa alhamaha fujuroha wa taqwaha. Qod aflaha man zakkahaa, wa qod khoba man dassaha)
Agar dapat memiliki karakter profetik maka 3 aspek utama dalam diri manusia harus diberikan perhatian secara seimbang, yakni hati, emosi, akal. (Nabi bersabda: Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik), dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak baik). Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)
Beberapa factor penting sebagai ciri karakter profetik, antara lain:
1. Sadar sebagai makhluq ciptaan Tuhan: Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai transendensi.
2. Cinta Tuhan : Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan apapun perintah dan menjauhi larangan-Nya.
3. Bermoral : Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka membantu, dll merupakan turunan dari manusia yang bermoral.
4. Bijaksana : Karakter ini muncul karena keluasan wawasan seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang mampu diambil sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan.
5. Pembelajar sejati: Untuk dapat memiliki wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil kekuatan dari sekian banyak perbedaan.
6. Mandiri: Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai humanisasi dan liberasi. Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa.
7. Kontributif: Kontributif merupakan cermin seorang pemimpin.
E. Upaya Pendidikan karakter anak bangsa sejak dini
Didalam upaya mengembangkan pendidikan yang berorientasi kepada pembangunan karakter anak bangsa Indonesia maka perlu dikritisi sistem pendidikan yang telah diberlakukan selama ini, ada beberapa hal, antara lain;
1. Sistem pendidikan dini yang kita berlakukan terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan.
2. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”). Banyak kita temui murid nilai pelajaran agama tinggi, mungkin 8 atau 9, akan tetapi murid yang bersangkutan tidak mengamalkan ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter hendaknya dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, serta melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.
3. Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik perlu dimulai sejak anak usia dini/prasekolah.
4. Selanjutnya dalam rangka “Membangun Bangsa Berkarakter Mengacu pada Nilai Agama” perlu melalui pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur universal : (1). Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian; (3) Kejujuran; (4) Hormat dan Santun: (5) Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama; (6) Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah; (7) Keadilan dan Kepemimpinan; (8) Baik dan Rendah Hati; dan (9) Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan.
F. Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Peserta Didik
Berbagai penelitian empiric menunjukkan bahwa; factor guru/dosen memainkan peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter peserta didik. Seorang pakar pendidikan Mujamil Qomar mengatakan dengan mengutip pendapat E.Mulyana bahwa guru merupakan ujung tombak pendidikan., dan guru merupakan pemeran utama proses pendidikan yang sangat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan.(Mujamil Qomar: Menejemen Pendidikan Islam 2007: 21)
GURU: adalah pendidik yang profesional dan memiliki tugas-tugas utama untuk: (1) mendidik, (2) membimbing, (3) mengarahkan, (4) melatih, (5) menilai, dan (6) mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah singkatnya guru bukan hanya meliki tugas mentrasfer pengetahuan, tetapi lebih dari itu tugas para guru/Dosen yang paling utama adalah mampu membentuk peserta didik agar memiliki karaktar kebangsaan yang baik.
G. KESIMPULAN / PENUTUP
”Pilar akhlak (moral) yang dimiliki (member warna) dalam diri seseorang sehingga dia menjadi orang yang berkarakter baik (good character) yang jujur, sabar, rendah hati, Solider, tanggung jawab dan rasa hormat, yang tercermin dalam kesatuan organisasi/sikap yang harmonis dan dinamis.
Tidak adanya tata nilai-nilai, norma dan moral dasar ini (basic moral values) yang senantiasa mengejewantah dalam diri pribadi kapan dan dimana saja, orang dapat dipertanyakan kadar keimanan dan ketaqwaan. Karakter orang yang kuat imannya, antara lain: (1) secara khanif dia patuh pada Tuhannya; (2) dia tertib dan disiplin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan, secara mahdhoh/ritual dan Mu’amalah/sosial; (3) memahami dan menghargai ajaran agama lain, sehingga tercipta kehidupan yang terbuka dan menjunjung tinggi perbedaan seakat didalam perbedaan; (4) memperbanyak kerjasama dalam bidang kehidupan bermasyarakat.
KATA PENUTUP
Mengingat keterbatasan penulis dalam segala hal maka kekurangan makalah ini saya bermohon dengan hormat bagi para pembaca dan teman- teman pasca sarjana MPI Semeter 2 yang ikut terlibat didalam diskusi makalah ini untuk memberikan saran dan masukan demi perbaikan makalah ini, terimakasih. Semoga makalah ini memiliki nilai manfaat walau sekecil biji Dzarrah. Amin…

DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, 2003 (cetakan 2, 2006), Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Penerbit Kompas.
H.A.R. Tilaar, 2004 (cetakan 2, 2004), Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rinika Cipta.2009.
H.A.R. Tilaar,2009 (Cetakan 2, 2009), Kekuasaan dan Pendidikan:ajian Menejemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, Jakarta, Rinika Cipta.2009
Mujamil Qomar, 2007 (cetakan 1, 2007), Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta, Erlangga.2007.
Abdullah Ali, Sosiologi Pendidikan & Dakwah,(Cetakan 1,2007), STAIN PRESS CREBO, Cakrawala Yogjakarta, 2007.

Format Pendidikan Nondikotomik (Book Riview Prof.H.Abdurahman Mas'ud,PhD

DI RIVEIW OLEH : DRS. H. IMAM GOZALI
(MAHASISWA PASCA PASCASARJANA IAIN SNJ CIREBON)

MENGGAGAS FORMAT PENDIDIKAN NONDIKOTOMIK [Image][Image] (Kajian Paradigma Pendidikan Islam yang Berorientasi pada Humanisme Relegius) Penilaian yang dialamatkan kepada dunia pendidikan Islam setelah melewati abad pertengahan Islam atau abad kemunduran adalah sebuah penilaian yang sangat memprihatinkan dan walaupun tidak sepenuhnya benar dimana: “Pendidikan Islam identik dengan kejumudan, kemandekan, dan kemunduran. Juga berdasarkan fakta bahwa dewasa ini mayoritas umat Islam hidup dalam serba keterbelakngan baik secara materi maupun intlektual” [Image] [Image] Prof. Dr. H. ABDURRAHMAN MAS’UD, MA. Ph.D************************** A. PENDAHULUAN Hasil karya sebuah gagasan dan buah pemikiran seorang intlektual Islam yaitu Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, MA. Ph.D ( yang selanjutnya penulis sebut beliau ) yang membahas sekaligus menawarkan tentang format pendidikanNondikotomik dengan konsep Humanisme Relegius sebagai paradigma pemikiran bentuk pendidikan Islam. Bukan ”Islam Fundamentalis” atau bahkan ”Islam Liberal” akan tetapi Konsep “Humanisme relegius” sebagai sikap konsistensi yang selalu dipegang teguh oleh beliau untuk menggunakan istilah Humanisme Relegius didalam memperjelaskan keberadan manusia sebagai invidu yang bertanggungjawab pada dirinya sendiri, terhadap apa yang dijalaninya didalam hidup di dunia ini, bukan kepada komunitas atau jama’ahnya, ini adalah sebagai pertanggungjawaban yang cerdas. Kata benda yang memiliki kata sifat dichotomous dan kata verbal to dichotomizhe yang memiliki arti atau makna pembagian dua hala/ keadaan adalah kata yang dimaksudkan beliau untuk kata dikotomi, dimana kata tersebut biasanya dimaksudkan untuk membagi dua comunitas atau kelompok yang memiliki perbedaan. Adapun pendidikan Islam yang dimaksud dan ditelusuri dalam buku “Menggagas format Pendidikan Nondikotomi” ini ialah segala model transformasi ilmu, budaya, karakteristik atau adat istiadat dalam cakupan moralitas pada suatu generasi saat itu dan berlanjut kepada generasi selanjutnya. Oleh karena itu pendidikan yang memiliki cakupan secara konprehensif, yaitu pendidikan Islam yang mampu mengintregasikan antara dua hal yaitu bukan hanya semata- mata memiliki orientasi kepada ilmu- ilmu keduniaan saja tetapi yang berorientasi juga kepada ilmu- ilmu agama (ukhrowy) itulah yang diartikan sebagaiPendidikan Nondikotomi pada dunia Islam. Yang pada akhirnya mampu menciptakan generasi Muslim yang Islami artinya Orang- orang Islam yang memiliki pertanggungjawaban yang baik atau orang Mulim yang bukan hanya mementingkan ibadah dalam tanda kutip pada ritualnya saja. Buku yang berjudul “Menggagas Format pendidikan Nondikotomik” ini memberikan tawaran model pendidikan Islam, khususnya di Indonenesia, karena didalam buku ini sangat fokus didalam menyoroti dan mengulas secara tuntas terhadap pendidikan Islam yang berorientasi pada pemikiran atau cara berfikir yang dikotomik, kemandekan, kejumudan dan tidak mendukung kemajuan peradaban Islam yang pernah dinikmati generasi awal Islam. B. ISI DAN BEBERAPA MUATAN BUKU B.1. Kerangka dan Dasar- Dasar Pendidikan Islam Al-Qur’anul Karim adalah sebagai rujukan pendidikan Islam yang fundamental, terdapat beberapa Ayat didalamnya yang mengharuska manusia untuk menggali dan mencari ilmu pengetahuan melalui Pendidikan atau belajar, antara lain, sebagaimana Firman Alloh didalam Al qur’an: 96: 1-5, pada yang ke empat menjhelaskan bahwa Alloh swt mengajari manusia dengan Qolam yang artinya adalah suatu alat atau sarana untuk menulis sesuatu dan pada ayat yang pertama dan ke tiga tercantum kata Iqro’ sebuah kata perintah kepada manusia untuk selalu membaca. Antara menulis memakai alat tulis dan aktivitas membaca, adalah sebagai syarat mutlak untuk mentransformasi sebuah ilmu pengetahuan dari generasi kepada generasi selanjutnya, dalam rangka membangun martabat dan peradaban manusia dari zaman kezaman. Disamping Al-Qur’anul Karim, hadits Nabi juga selama berabad- abad telah menjadi kurikulum inti pada pendidikan Islam. Kurikulum ini telah memunculkan beberapa disiplin pengetahuan, khususnya ilmu tafsir Al qur’an dan Ilmu hadits. Dua ilmu keagamaan ini telah memberikan kontribusi dan memperkaya peradaban bagi komunitas ulama dalam Islam dengan memunculkan ilmuwan Muslim , Mufassirun, Muhadditsun juga Muarrikhun. Dari kedua dasar idiologi Pendidikan Islam ini, maka Islam telah berhasil menancapkan keyakinan akan arti pentingnya menuntut ilmu pengetahuan (belajar) dalam arti yang sangat luas kepada para penganutnya. Selanjutnya dunia Islam tampil dengan peradaban dan kebudayaan yang menakjubkan dan berbeda dengan peradaban (budaya) lainnya paling tidak ada lima poin utama yang membedakan budaya Islam dengan budaya lain; yang 1. Konsep tauhid atau oneness of god di manapun, kapanpun Islam selalu menampilka ajakan satu Tuhan. 2. Konsep Universalitaspesan dan misi peradaban, di mana al Qur’an menekankan persaudaraan manusia dengan tetap memberi ruang pada perbedaan ras, keluarga, negara dan sebagainya. Al Qur’an (49:13). 3. Konsep Moral yang selalu di tegakkan dalam budaya ini, sebagai mana yang telah dicotohkan oleh para Ulama seperti walisongo yang selalu berda’wah dengan pesan- pesan moral. 4. Konsep budaya toleransi yang sangat tinggi sebagaimana yang telah ditegakkan oleh Nabi di saat umat Islam menjadi golongan mayoritas di kota Madinah diawal- awal perkembangan Isla. 5. Konsepkeutamaan belajar dan memperoleh Ilmu. Budaya mengaji (membaca dan mengkaji kandungan al Qur’an dan mempelajari hadits). Bahkan budaya mebaca ini telah mampu membangun peradaban Islam kepada puncak peradaban dunia dalam waktu yang cukup lama. Budaya yang mengesankan ini sering disebut budaya pendidikan seumur hidup (Life long education) yang terukir dalam sejarah sekaligus dalam sabda Nabi; ”carilah Ilmu sejak bayi ampai keliang lahat.” dan Islam menempatkan ilmu dalam tempat yang khusus dan memberi nilai lebih terhadap ilmu, The value of knowledge. yang terdapat didalam al Qur’an dan hadis serta diperkuat dengan fakta sejarah. Fakta sejarah bahwa di abad pertengahan, peradaban Islam telah memberi kontribusi yang cukup signifikan dalam bidang pendidikan kepada dunia Barat, antara lain ; 1. Sepanjang abad ke 12 dan dan sebagian abad ke 13, karya- karya Ilmuwan Muslim dalam bidang filsafat, sains dan sebagainya telah diterjemahkan kedalam bahasa latin khususnya dari Sepanyol. penerjemahan ini sungguh sangat memperkaya kurikulum dunia pendidikan Barat, husunya di Northwes Europa. 2. Karya- karya Ibnu Sina dibidang kesehatan banyak dipakai sebagai tek di lembaga- lembaga pendidikan tinggi di Eropa. 3. Karya- karya Ilmuwan Muslim telah merangsang kebangkitan Eropa dan memperkaya kebudayaan Romawi kuno serta literatur klasik yang dapat melahirkan renaisance. 4. Para Ilmuwan juga berhasil melestarikan pemikiran dan tradisi ilmiah Romawi- Persia sewaktu Eropa dalam kegelapan. 5. Para Sarjana Eropa belajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi di dunia Islam dan mentransfer ilmu pengetahuan ke dunia Barat. 6. Ilmuwan- ilmuwan Muslim telah menyumbangkan pengetahuan tentang rumah sakit , sanitasi serta makanan ke Eropa. Memang buku ini menginformasikan bahwa puncaki sejarah peradaban Islam berada pada lima abad pertama sejak munculnya Islam. Namun setelah itu tampak adanya kemunduran peradaban (Cultural Decline), yakni sewaktu munculnya fenomena dikotomi Islamic knowlegde dan Non-Islamic Knowlegde mulai merasuki umat Islam. Akan tetapi umat Islam yang hidup di penghujung abad 20-an, peradaban Islam selayaknya jangan dipandang final dalam puncaknya. Sebab hal ini dapat menimbulkan sikap fatalisme yang merenggut etos kerja dan mengandaaskan idealisme hari esok. Sebenarnya wilayah ontologi pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi. Islam memandang bahwa alam dan lingkungan disekitar manusi adalah sebagai media pendidikan. Problema yang di hadapi di dunia pendidikan Islam saat ini adalah mengabaikan pendidikan lingkungan, dan dikotomi antara ilmu agama dan non agama, juga dikotomi anatara wahyu dan alam. Pendidikan yang mengutamakan pengembangan kreatifitas ditumbuhkan kembangkan, pada anak didik diajari meneliti sejak dini dan menumbuhkan rasa ingin tahu yang seringkali terasa usil dalam pandangan orang Indonesia di kembangkan di dunia Barat terutama di USA seperti yang di saksikan oleh beliauketika beliau di sana. Konsep Human Relegius, ditawarkan oleh beliau kepada dunia pendidikan Islam, agar pendidikan Islam tidak lagi mengabaikan kepentingan pendidikn alam, pendidikan akal, serta pengembangan potensi individu secara maksimal sesuai dengan konsep ontologis pendidikan Islam yang tidak mengenal dikotomi dalam pendidikan Islam pada segala lapangan ilmu. Nabi menyampaikan meteri pengajaran dengan memberikan respon dan problem solving yang sangat positif pada problematika yang ada relefansinya dengan fitrah manusia sebagai individu maupun komunitas. Manusia yang kamil adalah merupakan tujuan pendidikan Islam, sebagai titik penekanannya adalah pada rekontruksi tauhid serta menawarkan kecerdasan sosial yang mengacu pada sumber wahyu Ilahi, kepakaan hati nurani, rasionalitas dan jiwa.Munculnya Era Nondikotomik Landasan idiologis Pendidikan Islam adalah Al-Qur’anul Karim dan prilaku Rasululloh (hadits), Muhammad saw seabagai uswah khasanah adalah merupakan figur ideal dalam dunia pendidikan yang memilki kesempurnaan dalam berbagai hal bila ditinjau dengan kacamata manusia biasa bukan sebagai rasul utusan Alloh. Tampilan beliau menujukkan manusia yang multi dimensi disutu sisi, disisi lain beliau sebagai fasilitator didalam menyampaikan risalahnya dengan hikmah dan argumen yang meyakinkan. Model belajar dan mengajar yang dipraktekkan di masa sesudah Nabi itu pasti tidak terlepas dari ucapan dan prilaku Nabi yang disebut hadits atau sunah yang disampaikan dalam berbagai persoalan. Hubungan antara ilmu agama dan non agama berjalan dengan indah dan sangat harmonis, juga saling melengkapi inilah fakta sejarah perkembangan ilmu pengetahuan didalam Islam yang tidak ada aroma dikotomik. Munculnya Era Dikotomik Munculnya simtom dikotomik di dalam pendidikan Islam bukanlah menopoli lembaga pendidikan. Bagaikan sebuah wabah simtom atau firus, dikotomik menyerang keseluruh penjuru kehidupan umat Islam, mulai dari kalangan para raja sampai kepada rakyat jelata, dari luar lembaga sampai dengan kedalam lembaga pendidikan. Era dekotomik ini di tandai denga polarisasi yang tajam antara Sunni dan Syi’ah, anatara faksi- faksi di dalam Sunni sendiri, serta ekstermitas, fanatisme mazhab dan aliran teologi yang berlebihan. Khujjatul Islam Imam Al Ghazali bersama dengan lembaga pendidikan An Nizamiyah sering di jadikan titik sentral untuk melemparkan kesalahan, al Ghazali juga dituduh sebagai penganjur untuk menghalang- halangi ilmu- ilmu umum agar tidak di masukkan didalam kurikulum pendidikan Islam. Tuduhan- tuduhan semacam itu tidak benar sebab al Ghazali hanya mencoba mengklasifikasikan ilmu umum dalam beberapa klasifikasi, bahkan al Ghazali menganjurkan agar umat Islam juga mempelajari ilmu kedokteran, ilmu hitung, dan termasuk ilmu- ilmu non syari’ah, ilmu pasti, logika ilmu alam, ilmu politik dan etika.MEMPERKENALKAN HUMANISME RELEGIUS Humanisme sebagai kultur adala sebuah tradisi pemikiran rasional dan empirik yang sebagaian besar berasal dari Yunani dan Romawi kuno, kemudian berkembang pada Sejarah Eropa. Humanisme dijadikan oleh dunia Barat sebagai dasar pendekatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan, teori politik, etika dan hukum. Pada perkembangannya humanbisme terbagi menjadi tiga bagian yaitu relijius, sekular dan moderen. Humanisme relegius muncul dari etika kebudayaan, unitarianisme dan universalisme. Pengertian agama digunakan oleh humanisme religius secara fungsional. Kegunaan agama bagi manusia adalah untuk memberikan layanan kebutuhan perorangan maupun kelompok sosial dan humanisme relegius diterjemahkan sebagai fondasi keyakinan didalam beraktifitas. Sebagai sebuah keniscayaan untuk membangun dan mengembangkan paradigma humanisme relegius dalam pendidikan Islam di kalangan umat Islam Indonesia, karena ; 1. Pemahaman dan aplikasi keagamaan yang hanya berorientasi pada hal- hal yang bersifat vertikal dan kesemarakan ritualnya saja. 2. Kecerdasan dan kesalehan sosial masih sangat kering dari praktek keberagamaan masyarakat Islam. 3. Belum dikembangkannya potensi yang ada pada peserta didik secara proporsional, Pengembangan semberdaya manusia belum menjadi orientasi bagi kebanyakan lembaga pendidikan Islam yang ada. 4. Untuk mencapai tujuan pendidikan, agar peserta didik memiliki sikap mandiri dan tanggungjawab sepertinya masih sangat jauh dan tidak diterapkan pada dunia pendidikan Islam. Dampak Humanisme Relegius dalam Pendidikan Islam Humanisme Relegius sebagai sebuah konsep pemahaman atau paradigma keagamaan yang ingin menempatkan manusia yang dimanusiakan keberadaannya, serta ingin mengupayakan gerakan humanisasi dalam bidanbg ilmu pengetahuan tetap memperhatikan tanggungjawab manusi dalam membangun hubungannya dengan sesama manusia dan tetap memperhatikan tanggungjawabnya dengan Tuhan (Hablum minlloh dan hablum minannas). Seorang guru diharuskan untuk mempersiapkan anak- anak peserta didiknya dengan penuh perhatian dan kasih saayang, sebagai pribadi yang saleh yang memiliki rasa tanggungjawab sosial, relegius serta lingkungan hidupnya. Dengan demikian guru dailam mendidik anak didiknya diharapka tidak hanya sekedar menyampaikan pengetahuan yang bersifat dogmatis dan teoritis, akan tetapi lebih kepada aplikatif dan keteladanan sikap, baik dari ucapan, cara sikap dan prilaku seorang guru ditunjukkan agar peserta didik bisa belajar untuk memproses dirinya menjadi manusi sempurna (Insan kamil). Didalam konsep humanisme relegius, peserta didik seharusnya diberikan kemerdekaan sebagai individu yang memiliki otoritas individu juga, sehingga mereka memilki kemampuan untuk mengambil keputusan yang bertanggungjawab. Penerapan sikap tanggungjawab tarhadap peserta didik adalah sebagai keharusan agar siswa memiliki kepercayaan untuk mengevaluasi dirinya sendiri, sebagai langkah kedepan untuk melihat rialitas yang akan selalu mereka hadapi. Guru harus menjadi mitra terdekat dalam proses belajar, peserta didik harus juga diberikan kesempatan dalam proses evaluasi guru. Solusi yang baik adalah mengadakan evaluasi dengan cara yang obyektif dan konfrehensif, bukan hanya dari segi kecerdasan intlektual tetapi harus juga sangat diperhatikan dalam bidang kecerdasan emosional dan kecerdasan sepiritual. Kelermahan yang harus di akuai pada penyelenggara pendidikan adalah menitikberatkan pada penilaian akhir semester, yang baik adalah evaluasi harian dengan mencatat perkembangan peserta didik, karena humanisme relegiue lebih mengedepankan proses dari pada sekedar tujuan final C. PEMBAHASAN. Pokok pembahasan dari tulisan beliau dalam bukunya Menggagas Format Penmdidikan Nondikotomik ini adalah upaya untuk menawarkan dan mengajak umat Islam agar bengkit dan membangun peradaban Islam dengan mengembangkan konsep beliau yaitu Human Relegius sebagai antitesis dan sintesis peradaban Barat. Dalam buku ini beliau menyampaikan fenomena yang tampak dari kebanyakan orientasi pendidikan Islam yang berorientasi pada ”apa” (What oriented education)hingga ranah kognitif sebagai sasaran utama dalam memberikan intruksi pengajaran. Metode aplikatif tidak dihiraukan sama sekali, kebanyakan pendidikan Islam memakai metode hafalan, metode ini mendominasi secara luas dikalangan umat Islam, sehingga kekritisan sebagai suatu sikap tidak diberikan ruang yang cukup. Pada akhirnya peserta didik belajar dan hanya bisa menghafal materi pelajaran tetapi hampir- hampir tidak mendalami fakta- faktanya. Beliau memaparkan bahwa quisener (petranyaan) kenapa belum dibiasakan untuk dipakai sebagai sebuah alat dalam mendalami pencarian ilmu pengetahuan pada lemabaga- lembaga pendidikan Islam. Apalagi pendidikan Islam masih terasa jauh dalam membidik pada aspek Afektif dan Psikomotorik, sehingga pembekalan terhadap pesert didik untuk menjadi pribadi- pribadi yang mandiri, memiliki keahlian menjadi terabaikan. Didalam perjalanan dan petualangan pemikiran beliau sampai ke dunia Barat telah mampu dan berhasil menampilkan sebuah potret masa nondikotomi dan dikotomi dalam sejarah perkembangan pemikiran intlektual Islam, dan berhasil mendeteksi proses pebnyebab munculnya dikotomi ditengah- tengah masyarakat Muslim melalui kegiatan penelitian yang beliau lakukan. Kerena menurut beliau semangat dikotomi didalam Islam bukan hanya terjadi pada lapangan pendidikan saja, tetapi lebih jauh dan lebih luas telah merasuki dunia diluar lembaga- lembaga pendidikan Islam. Penyebabnya cukup komplek yang meliputi sikap mental umat Islam yang dikotomisdidalam maupun diluar institusi pendidikan, serta Tribalisme baru yang berupa fanatisme mazhab yang berlebihan. Pada lima abad pertama dari kemunculan Islam yaitu (Abad ke 7 M sampai dengan abad ke 11 M) dalam dunia pendidikan Islam benar- benar tidak terjadi pendikotomian ilmu- ilmu khususnya dikalangan para ilmuwan Islam. Baru pada akhir abad ke 11 menjelang abad ke 12 M terjadi pendikotomian ilmu-ulmu agama dan ilmu- ilmu umum dikalangan umat Islam. Sebagai akibatnya berdampak serius terhadap terjadinya kemunduran peradaban Islam dan intlektualisme pemikiran Islam. D. KESIMPULAN / PENUTUP Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, MA., Ph.D, sebagai penulis buku yang menggagas Format Pendidikan Nondikotomik menghimbau dan mengajak dengan sekuatnya kepada umat Islam untuk melakukan rekontruksi kembali, dan untuk melakukan revitalisasi, serta melakukan reposisi terhadap pendidikan Islam dan Intlektualisme Pemikiran Islam dengan semangat Humanisme Relegius sebagai paradikma Islam yang baru. Menurut beliau ada beberapa hal yang salah didalam dunia pendidikan Islam, antara lain; 1. Kecenderungan pemikiran dikotomi dan polarisasi dikalangan umat Islam benar- benar telah mengakar dengan kuat antara ilmu umum dan ilmu agama. 2. Para peserta didik telah terkungkung dalam posisi yang rapuh tidak ada ruang kekritisan didalam proses belajar 3. Sistem hafalan teks telah mendominasi sistem pendidikan Islam sehingga semangat mencari dan meneliti sangat rendah, inilah tantangan dan problematika yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam 4. Penulis buku ini berkonsentrasi pada dunia pebndidikan Islam, karena menurut beliau ketika (Pembuat riviu buku ini) mengajukan pertanyaan pada pertemuan Kuliah perdana beliau di Pasca sarjana IAIN Syeh Nurjati Cirebon pada tanggal 16 April 2010, beliau menjawab bahwa hanya pendidikan atau dengan melalui belajar umat Islam akan terlepas dari kecenderungan pemikiran dikotomik dan peradaban Islam dan akan bengkit untuk maju kembali seperti pada preode lima abad pertama kemunculan Islam. [Image]PENUTUP, Marilah kaum terpelajar untuk bangun dan berada digarda paling depan dengan rmenabuh genderang da’wah terhadap pemikiran dikotomik, agar peradaban Islam menjadi maju. Terimakasih.

Konsep pendidikan menurut A. Malik fajar (Kurikulum Menejemen Berbasis Sekolah )

KONSEP
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
PROF. DR. H. ABDUL MALIK FAJAR, MSc

DiSusun Oleh : DRS. H. IMAM GOZALI

A. PENDAHULUAN

Memang Pendidikan di Indonesia selalu menghadapi permasalahanr yang sangat kompleks dan memerlukan pembenahan dan perhatian dari berbagai pihak secaran serius. Tindakan mengambil kesimpulan atau menjastis, bahwa pendidikan di Indonesia itu gagal secara keseluruhan, itu tidaklah obyektif. Apa lagi, kesimpulan kegagalan pendidikan di Indonesia tersebut dengan hanya membandingkan dengan negara tetangga Singapura, Malaysia, dan lain sebagainya.
Indonesia memiliki banyak permasalahan dibidang pendidikan, begitu pula Indonesia mempunyai problematika pendidikan yang berbeda dengan negara-negara tersebut, baik dilihat dari pendekatan historis lahirnya bangsa ini, luasnya wilayah Indonesia, dan begitu banyaknya jumlah penduduk Indonesia. Maka mengatakan kegagalan pendidikan di Indonesia dengan tolok ukur negara lain itu kurang obyektif
Suatu sistem pendidikan dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar mengajar berlangsung secara menarik dan menantang, sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan efisien perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidikan yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan kualitas pendidikan yang optimal, diharapkan akan dicapai
keunggulan sumber daya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang.
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen pendidikan yang dapat memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Manajemen pendidikan itu terkait dengan manajemen peserta didik yang isinya merupakan pengelolaan dan juga pelaksanaannya. Faktafakta dilapangan ditemukan sistem pengelolaan anak didik masih menggunakan cara-cara konvensional dan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik. Padahal Kreativitas disamping bermanfaat untuk pengembangan diri anak didik juga merupakan kebutuhan akan perwujudan diri sebagai salah satu kebutuhan paling tinggi bagi manusia. Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan menguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya. Dengan adanya kreativitas yang diimplementasikan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berbeda dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan divergen pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah.
Di zaman yang sudah modern ini, pendidikan juga masih dianggap sebagai kekuatan utama dalam komunitas sosial untuk mengimbangi laju berkembangnya ilmu dan teknologi. Persepsi masyarakat ini kiranya telah mampu memobilisasi kaum cerdik cendikia untuk selalu merespon secara stimulan terhadap perkembangan dan sistem pendidikan berikut unsur-unsur yang terkait yang berpotensi positif bagi keberhasilan pendidikan.
Secara sosiologis pendidikan selain memberikan amunisi memasuki masa depan, ia juga memiliki hubungan dialektikal dengan tranformasi sosial masyarakat. Transformasi pendidikan selalu merupakan hasil dari trasformasi sosial masyrakat, dan begitupun sebaliknya. Berbagai pola dan corak sistem pendidikan menggambarkan corak dari tradisi dan budaya sosial masyarakat yang ada. Maka hal yang paling mendasar yang perlu diperhatikan adalah suatu sistem pendidikan dibangun guna melaksanakan “amanah masyarakat” untuk menyalurkan angota-anggotanya ke posisi-posisi tertentu. Artinya, suatu sistem pendidikan bagaimanapun harus mampu menjadikan dirinya sebagai mekanisme alokasi posisional bagi civitas akademika untuk memasuki masa depannya. Banyak usaha telah dilakukan oleh para pemikir, praktisi dan pelaku pendidikan untuk mengkonstruksinya sebagai amunisi memasuki masa depan. Dalam konteks ini kiranya nama Prof Dr. H. Abdul Malik Fadjar bisa dinyatakan sebagai salah seorang pakar dan sekaligus praktisi pendidikan di negri ini, gagasan - gagasannya dan kebijakan-kebijakannya selalu mendapat respon positif bagi kemajuan pendidikan. Intelektualitas dan kapabilitasnya dibidang pendidikan bisa dilihat dari sejarah hidup yang diabdikannya pada lembaga-lembaga pendidikan yang dipimpinnya sehingga mencapai kualifikasi academic exellence dan kompetitif advantage di era global. Pemikiran beliau yang prinsip tentang pendidikan Islam yaitu mengenai bagaimana mengenalkan pendidikan yang betul-betul mampu menggambarkan integrasi keilmuan. Yaitu melakukan rekonstruksi terhadap realitas keilmuan yang bersifat dualisme atau (dikotomis, seperti dalam istilah Prof.Dr.Abdurrahman Mas’ud, MA, Ph.D didalam buku karya beliau“ Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik”). Dengan pertimbangan di atas maka penyusun makalah ini menjadikan Prof. Dr. H. Abdul Malik Fadjar, MSc.
sebagai tokoh utama dalam penulisan makalah ini yang penulis beri judul: “Konsep Pendidikan Islam Menurut Abdul Malik Fajar” Alasan atau argumen subyektif penulis makalah memilih beliau untuk dikaji dalam makalah ini karena beliau memiliki latar belakang pendidikan yang bernuansa Islam seperti dari PGA kemudia PGAA lalu memperoleh gelar sarjana mudanya dari IAIN kemudian sarjana lengkapnya dari IAIN dan kiprah pengabdiannya juga di IAIN kemudia Malik Fadjar pernah menjabat sebagai Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, dan pada gilirannya beliau di nobatkan menjadi Menteri Agama RI di era Habibie dan istimewanya beliau dipercaya untuk menjadi Menteri Pendidikan Nasional di era Megawati.
(http://www.pelita.or.id/images/headerbaru.gif Pelita, Minggu 30 Mei 2010)


B. PANDANGAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN

Pendidikan memiliki definisi yang sangat luas dan dapat dilihat dari berbagai sudut.
1. Definisi Umum
Pendidikan dapat diartikan sebagai Suatu metode untuk mengembangkan keterampilan, kebiasaan dan sikap-sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang menjadi lebih baik.
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara dan pembuatan mendidik
3. Menurut Undang-Undang
a. UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989 : Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang
b. UU SISDIKNAS NO: 20 tahun 2003: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
4. Definisi secara Etimologi (Bahasa)
a. Bahasa Arab : berasal dari kata Tarbiyah, dengan kata kerja Rabba yang memiliki makna mendidik atau mengasuh. Jadi Pendidikan dalam Islam adalah Bimbingan oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani dan akal anak didik sehingga bisa terbentuk pribadi muslim yang baik.
b. Bahasa Yunani : berasal dari kata Pedagogi, yaitu dari kata “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Itulah sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak (the art and science of teaching children)
5. Psikologi
Pendidikan adalah Mencakup segala bentuk aktivitas yang akan memudahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
C. ABDUL MALIK FAJAR DAN KONSEP PEMIKIRANNYA

C.1. Biografi dan Riwayat Pendidikan A. Malik Fajar
Prof. Dr. H. Abdul Malik Fadjar memiliki nama lengkap Abdul Malik Fadjar yang dilahirkan di Yogyakarta tanggal 22 Februari 1939. Ia adalah anak ke empat dari tujuh bersaudara dari pasangan Fadjar Martodiharjo dan Hj. Salamah Fadjar.
Abdul Malik Fajar memiliki riwayat pendidikan antara lain;
• Sekolah Rakyat di Magelang (selama 6 tahun)
• Pendidikan Guru Agama Pertama di Magelang (selama 4 tahun)
• Pendidikan Guru Agama Atas di Yogyakarta (2 tahun)
Pada tahun 1963 ia meneruskan pendidikan ke jenjang sarjana muda di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang. Kemudian dilanjutkan lagi hingga meraih gelar sarjana tahun 1972. Beliau adalah lulusan tahun 1972 dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Malang. Begitu lulus beliau mengajar di almamaternya dan menjadi Sekretaris Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel hingga tahun 1979.
Setelah itu, Abdul Malik Fadjar mendapat kesempatan melanjutkan studi di Department of Educational Research, Florida State University, Amerika Serikat. Disana beliau meraih gelar Master of Science tahun 1981. Kemudian beliau dipercaya untuk menjabat sebagai Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (Unmuh Malang), tahun 1983-1984. Lalu menjabat Rektor di dua universitas yakni; Unmuh Malang dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) hingga tahun 2000.
Pada tahun 2000, beliau diangkat menjadi guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
C.2. Riwayat Pekerjaan A. Malik Fajar

Abdul Malik Fadjar memulai karirnya sebagai guru agama di SD Taliwang (1959-1960), guru SMI, guru agama pada SGBN Sumbawa Besar dan Guru Agama pda SMPN Sumbawa besar dan kepala SMEP. Beliau langsung menjadi guru selepas lulus dari Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) Negeri Yogyakarta tahun 1959. Setelah menjadi guru agama selama empat tahun. Pada 1963 Abdul Malik fajar kembali di Jawa karena panggilan tugas belajar, yaitu Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Malang. Begitu lulus dari IAIN Sunan Ampel Malang beliau mengajar di almamaternya dan menjadi Sekretaris Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel hingga tahun 1979.
Setelah lulus dari studi di Department of Educational Research, Florida State University, Amerika Serikat. Disana ia meraih gelar Master of Science tahun 1981. Kemudian ia dipercaya untuk menjabat sebagai Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (Unmuh Malang), tahun 1983-1984. Lalu menjabat Rektor di dua universitas yakni Unmuh Malang dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) hingga tahun 2000.
Pada tahun 2000, ia diangkat menjadi guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pada masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie beliau diangkat menjadi Menteri Agama dan pada era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri beliau diangkat menjadi Menteri Pendidikan Nasional.
(http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/abdul-malik-fadjar/index.shtml )

C.3.Karya-karya Abdul Malik Fajar

Karya-karya yang dihasilkan oleh Prof. Dr. H. A. Malik Fadjar, MSc antara lain:
• Kuliah Agama Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981).
• Kepemimpinan Pendidikan (Malang: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang,1983)
• Dunia Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan (Malang:UMM Press,1989)
• Dasar-dasar Administrasi Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, 1993)
• ReorientasiWawasan Pendidikan dalam Muhammadiyah dan NU (Malang: UMM Press,1993)
• Visi Pembaharuan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998)
• Madrasah Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1998)
• Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: FadjarDunia, 1999)
• Pendidikan, Agama, Kebudayaan dan Perdamaian (Malang: UIN Malang Perss, 2004)
• Sintesa Antara Perguruan Tinggi denagn Pesantren (Malang: UIN Malang Press, 2004)
• Berbagai artikel dan makalah yang dimuat berbagai media, baik nasional maupun internasional.

C.4. Konsep Pendidikan Islam Menurut Prof. Abdul Malik Fajar, MSc

1. Pengertian Pendidikan Islam

Mengutip dari tulisan H. Mutamam yang berjudul “Pendidikan Agama Menjadi Menjadi Pendidikan Penting Di Dunia Moderen” Menyebutkan dengan mengutip pendapat Prof Dr. H. Malik Fajar, MSc bahwa, dalam sejarah pendidikan Indonesia maupun dalam studi pendidikan, sebutan “Pendidikan Islam” umumnya dipahami sebagai ciri khas jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Demikian pula batasan yang ditetapkan di dalam sebuah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Adalah Zarqawi Soejoeti (1986) yang memberikan pengertian terperinci, yaitu:
• Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat ke Islaman.
• Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang memberiakn pengertian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan.
Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian diatas. (Lihat A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, Cet. I; Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, Jakarta Timur, 1991 h. 31.) http://WWW.daneprairie.com
Oleh karena itu kalau kita ingin menatap masa depan dendidikan Islam yang mampu memainkan peran strategis dan memperhitungkan untuk dijadikan pilihan, maka aperlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya secara mendasar dan menyeluruh, seperti berkaitan dengan hal-hal berikut ini:
o Kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah operasionalnya.
o Pemberdayaan kelembagaan yang ada dengan menata kembali sistemnya.
o 3.Perbaikan, pembahqaruan dan pengembangan dalam sistem pengelolaan atau menejemen.
o Peningkatan SDM yang diperlukan.

2. Tujuan Pendidikan Islam
Penulis makalah ini dalam menguak pemikiran Prof. Dr. H. Abdul Malik Fajar, MSc mencoba mengutip pendapat dan pengamatan dari seorang praktisi pendidikan, Dr.Aswandi (Dosen FKIP Untan), bahwa, praktek penyelenggaraan pendidikan Islam selama ini sering mengalami benturan antara tradisional dan modern dan kelemahan posisioning kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri, misalnya konsep pendidikan Islam yang memposisikan Islam dan ilmu pengetahuan secara dikotomis, bahkan lebih naif lagi jika penyelenggaraan pendidikan Islam dibatasi hanya pada organisasi masyarakat Islam semata. Selanjutnya Aswandi mengutip pendapat Prof. Dr. H. Abdul Malik Fadjar, MSc dalam buku “Membuka Jendela Pendidikan” mengatakan “Keberadaan sistem pendidikan Islam seharusnya ditempatkan dalam kerangka tujuan sosiologis, artinya bagaimana menempatkan sistem pendidikan Islam dalam alokasi posisional yang setara dengan sistem sekolah lainnya. Kerangka posisional tersebut mengimplementasikan adanya mandat dari masyarakat yang harus dijalankan oleh sistem pendidikan Islam dengan menyalurkan anggota-anggotanya ke dalam posisi-posisi tertentu. Samuel Bowless menyarankan bagaimana sistem pendidikan Islam mampu mencari struktur status dari generasi ke generasi, daripada membantu menimbulkan mobilitas antar kelas. Mekanisme alokasi posisional juga menyarankan suatu sistem pendidikan Islam memiliki kemampuan yang besar dalam menyerahkan lulusannya sesuai selera masyarakat secara luas. Juga menyarankan adanya mobilitas yang kuat dari masyarakat untuk mengakhiri jenjang pendidikan yang setinggi-tingginya, dan sistem pendidikan Islam yang berkualitas.
3. Peran Pranata Pendidikan

Konsep pemikiran Prof. Dr. malik Fajar teatang peran pranata kependidikan adalah bahwa, pendidikan sebagai praktisi pembangunan bangsa: telaah atas peranan pranata kependidikan melalui pranata pendidikan, berbagai Kegiatan pendidikan menjadi kekuatan riil bagi proses pembangunan bangsa.
Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa, untuk mengetahui peranan pranata pendidikan berikut ini adalah pranata pendidikan;
o - peranan guru dan pemimpin pendidikan
o - peranan pedidikan lembaga-lembaga pendidikan formal
o - peranan lembaga keagamaan sebagai wadah kependidikan
nonformal
o - peranan pusat-pusat keilmuan sebagai wadah kegiatan penelitian
o - peranan pusat seni sebagai wadah pandidkan dan kebudayaan.

selama ini perananpranata kependidikan masih tampak bergerak sendiri-sendiri dan belum membentuk sinergi positif yang mendukung proses pembangunan bangsa. Masing-masing lebih banyak melihat duniannya sendiri dan kurang membuka dan saling memberi akses. Sehingga, makna pendidikan mengalami “penyempitan” dan “reduksi”. Bahkan “mandek”, terkurung dalam system sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi.

4. Menejemen Pendidikan MBS

Didalam buku Holistika yang dikutip oleh ………………….. Pemikiran Pendidikan, A. Malik Fadjar mengemukakan tentang pemikiran-pemikirannya mengenai dunia kepandidikan Indonesia. Menurutnya pendidikan nasional harus mempunyai visi dan misi. Visi misi itu bertumpu pada kenyataan:
- perjalanan kehidupan berbangsa di Negara Indonesia
- suasana yang diliputi konflik yang terjadi
- pembenahan dikala krisis
- di antara aneka persoalan bangsa
- peradaban dan kebudayaan
Singkatnya pendidikan nasional mengemban visi dan misi integrasi nasional, martabat kemanusiaan, spiritual dan moralitas bangsa, kecerdasan dan kecakapan hidup.
Selain itu A. Malik Fadjar berpendapat bahwa menejemen pendidikan harus di ganti dari Manajemen Berbasis Kurikulum menjadi Menejemen berbasis sekolah. MBS sebagai realisasi dari desentralisasi pendidikan. Sedikitnya ada empat bentuk yang perlu di identifikasi, anrat lain:
- dekonsentrasi, yaitu pelimpaha sebagian kewenangan atau tanggung jawab admininstratif ke tingkat yang lebih rendah
- delegasi, yaitu pelimpahan atau pemindahan tanggung jawab manajerial dan fungsional ke organiasasi di luar struktur birokrasi
- devolusi, yaitu penguatan dan penciptaan unit pemerintah di daerah
- privatisasi atau swatanisasi, yaitu pemberian wewenang secara penuh kepada swasta untuk merencanakan, manjalankan dan mengevaluasi seluruh system yang di kontruksi.
MBS ditawarkan sebagai salah satu alternative jawaban pemberian otonomi daerah di bidang pendidikan, mengingat prinsip dan kecenderungan yang masih mengembalikan pengelolaan manajemen sekolah kepada pihak-pihak yang dianggap paling mengetaui kebutuhan sekolah. Oleh karena itu jika kita semua sedang gencar berbicara tenteng reformasi pendidikan, maka dalam konteks MBS tema sentral yang diangkat adalh isu desentralisasi. Desentralisasi dalam pengertian sebagai pengalihan tanggung jawab pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam hal perencanaan, manajemen, penggalian dana dan alokasi sumber daya.

D. PENUTUP

Prof. Dr. Malik fajar, MSc sebagai pemerhati, praktisi dan pakar pendidikanadalah sebagai tokoh yang memiliki keunikan sebab beliau merupakan sarjana lulusan dari pendidikan yang bernuansa agama yang selama dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang di Indonesia. Namun beliau mampu menepis anggapan miring dan diskriminatif terhadap produk pendidikan Islam terutama yang dikelola oleh Departemen Agama RI, buktinya beliau sempat dinobatkan menjadi Menteri Pendidikan Nasional di Era Megawati Sukarno Putri.
Kemudian gagasan dan pemikiran dibidang pendidikan yang beliau kemukakan didalam buku- buku karya beliau sangat mendapat respon positif dari bergai pihak utamanya dari para pemerhati pendidikan dan pakar pendidikan. Diantara konsep pemikiran tentang pendidikan yang beliau tawarkan adalah:
• Rekontruksi dan rekontruksi pendidikan Islam dari Dikotomik menjadi Nondikotomik. Sudah berlangsung lama praktek penyelenggaraan pendidikan Islam selama ini, sering mengalami benturan antara tradisional dan modern dan kelemahan posisioning kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri, misalnya konsep pendidikan Islam yang memposisikan Islam dan ilmu pengetahuan secara dikotomis, bahkan lebih naif lagi jika penyelenggaraan pendidikan Islam dibatasi hanya pada organisasi masyarakat Islam semata.
• “Keberadaan sistem pendidikan Islam seharusnya ditempatkan dalam kerangka tujuan sosiologis, artinya bagaimana menempatkan sistem pendidikan Islam dalam alokasi posisional yang setara dengan sistem sekolah lainnya. Kerangka posisional tersebut mengimplementasikan adanya mandat dari masyarakat yang harus dijalankan oleh sistem pendidikan Islam dengan menyalurkan anggota-anggotanya ke dalam posisi-posisi tertentu.
• Menejemen Pendidikan berbasis Sekolah sebagai realisasi desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dengan menwarkan Menejemen Berbasis Sekolah (MBS) agar sekolah memiliki kebebasan dalam mengelola Pendidikan

Demikian makalah ini disusun dengan berbagai sisi keterbatasan dan kekurangan penyusn didalam menemukan sumber- sember aslinya, maka penyusun mohon kritik dan saran serta masukan serta informasi keberadaan karya- karya iklmiyah A. Malik Fajar sangat penulis harapkan, demi perbaikan makalah ini. Semoga ada manfaatnya makalah ini bagi siapa saja yang membaca dan khusunya bagi penyusun. Amin.

Daftar Pustaka

1. http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/abdul-malik-fadjar/index.shtml
2. (http://www.pelita.or.id/images/headerbaru.gif Pelita, Minggu 30 Mei 2010)
3. http://WWW.daneprairie.com