Minggu, 16 Januari 2011

PENDIDIKAN KARAKTER

Sebuah Kajian kebijakan Pendidikasn

Tentang Nilai Agama Sebagai Rujukan Membangun Karakter Bangsa

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kondisi Bangsa Dewasa ini (era global)

Fakta sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia tidak pernah berhenti dalam menyelenggaanrakan program pendidikan dalam keadaan bagaimanapun juga. Namun hingga saat ini keadaan bangsa kita masih mengalami kondisi yang yang tidak kondusif. Bahkan berkembangnya prilaku baru yang sebelum era global tidak banyak muncul, kini cenderung meluas, antara lain: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan masyarakat; (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, cenderung tidak menggunakan kata baku; (3) pengaruh peer-group (geng) yang kuat dalam tindak kekerasan; (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; (6) menurunnya etos kerja; (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; (9) membudaya-nya ketidakjujuran; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama

Berikut juga fenomena yang tidak dapat dipungkiri, yakni:

(1). Masa balita, pendidikan dan pengasuhan balita diserahkan kepada pembantu yang notabene kurang memiliki cukup kemampuan sebagai pendidik;

(2). Masa remaja, pembinaan remaja di luar rumah atau kelas diserahkan kepada masyarakat, yang ternyata kondisinya tidak kondusif bagi pengembangan karakter.

(3). Masa dewasa, integrasi masyarakat tidak menentu, tidak ada saling mempercayai (trust), kehidupan semu, tidak tulus, ABS, budaya munafik, dll.

B. BATASAN ISTILAH OBYEK KAJIAN ?

1. Hakekat Karakter

Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.

Sedangkan karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir. Lebih lanjut Simon Philip mengartikan bahwa karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.

Sementara Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Dari
berbagai pendapat pendapat yag telah disebutkan tersebut, maka dapat difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya.

2. Pendidikan Karakter

Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.

II. PEMBAHASA

A. Membangun Bangsa Berkarakter

Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri, terutama kepada para pemegang kebijakan pendidikan (Pemerinta). Bila Pemerintah dan semua komponen bangsa ini memberikan perhatian yang serius untuk membangun pendidikan bebasis karakter, maka akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan karakter kepada para peserta didiknya, maka akan tercipta pula generasi yang berkarakter.

B. Kebijakan Pemerintah Dan Pemegang Kebijakan Pendidikan

Indonesia adalah satu-satunya Negara yang Pembukaan Undang - Undang Dasarnya menetapkan misi ” mencer­daskan kehidupan bangsa ” sebagai misi penyelengga-raan pemerintah Negara dan menetapkan hak warga Negara memperoleh pendidikan dan kewajiban Peme­rintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasi-onal dalam bab khusus yaitu Bab tentang Pendidikan.

Sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Un­dang No. 20 Tahun 2003 yang tertulis: Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermu-tu, karena itu, bila ini semua dipenuhi dan sistem kurikulum dirancang dan dilaksanakan secara re­levan, maka cita-cita menjadikan pendidikan sebagai wahana pembentukan karakter bangsa akan dapat terlaksana dan masalah persatuan bangsa dengan sendirinya akan teratasi, dan Negara bangsa yang cer­das kehidupannya serta Negara bangsa Indonesia akan benar-benar berkarakter Pancasila

Peraturan pemerintah Nomor: 55 Tahun 2005 sebagai pedoman pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, telah banyak dikritisi oleh para pakar pendidikan Islam dan dikonfirmasikan dengan fakta pendidikan Islam dalam tataran empiric.

C. Lima pilar karakter luhur bangsa Indonesia:

1. Transendensi: Menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Dari kesadaran ini akan memunculkan sikap penghambaan semata-mata pada Tuhan yang Esa. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu menjaga dan memakmurkannya. Ketuhanan yang maha Esa;

2. Humanisasi: Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi. Kemanusiaan yang adil dan beradap;

3. Kebinekaan: Kesadaran akan adanya sekian banyak perbedaan di dunia. Akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan, Persatuan Indonesia;

4. Liberasi: Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;

5. Keadilan: Keadilan merupakan kunci kesejahteraan. Adil tidak berarti sama, tetapi proporsional. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk menyelenggarakan pendidikan karakter, perlu adanya powerfull ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter. Powerfull ideas ini meliputi: (1) God, the World & Me (gagasan tentang Tuhanyang maha pencipta, dunia, dan saya: QS.Al’Alak :1-2); (2) Knowing Yourself (memahami diri sendiri); (3) Becoming a Moral Person (menjadi manusia bermoral); (4) Understanding & Being Understood Getting Along with Others (memahami dan dipahami); (5) A Sense of Belonging (bekerjasama dengan orang lain); (6) Drawing Strength from the Past (mengambil kekuatan di masa lalu); (7) Dien for All Times & Places; (8) Caring for Allah’s Creation (kepedulian terhadap makhluq); (9) Making a Difference (membuat perbedaan); dan (10) Taking the Lead.

Adapun nilai-nilai luhur yang perlu diajarkan agar menjadi sikap hidup sehari-hari menurut Dr Sukamto, antara lain meliputi: Kejujuran; Loyalitas dan dapat diandalkan; Hormat; Cinta; Ketidak egoisan dan sensitifitas; Baik hati dan pertemanan; Keberanian; Kedamaian; Mandiri dan Potensial; Disiplin diri dan Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian; dan Keadilan dan kasih sayang. Seorang intelektual hendaknya berkarakter kenabian/profetik (berjiwa agama) memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

Karakter manusia “sempurna” sebagaimana ditampilkan oleh para Nabi dalam kehidupan sehari-hari. Bila seseorang memahami akhlak para nabi (sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad saw) dan turut mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari berarti orang tersebut telah memiliki karakter. Jadi karakter yang harus dibangun adalah karakter yang baik, bila tidak niscaya yang berkembang adalah karakter yang tidak baik. (Fa alhamaha fujuroha wa taqwaha. Qod aflaha man zakkahaa, wa qod khoba man dassaha)

Agar dapat memiliki karakter profetik maka 3 aspek utama dalam diri manusia harus diberikan perhatian secara seimbang, yakni hati, emosi, akal. (Nabi bersabda: Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik), dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak baik). Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)

Beberapa factor penting sebagai ciri karakter profetik, antara lain:

1. Sadar sebagai makhluq ciptaan Tuhan: Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai transendensi.

2. Cinta Tuhan : Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan apapun perintah dan menjauhi larangan-Nya.

3. Bermoral : Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka membantu, dll merupakan turunan dari manusia yang bermoral.

4. Bijaksana : Karakter ini muncul karena keluasan wawasan seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang mampu diambil sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan.

5. Pembelajar sejati: Untuk dapat memiliki wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil kekuatan dari sekian banyak perbedaan.

6. Mandiri: Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai humanisasi dan liberasi. Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa.

7. Kontributif: Kontributif merupakan cermin seorang pemimpin.

Catatan dalam membangun karakter bangsa sejak dini

1. Sistem pendidikan dini yang kita berlakukan terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan.

2. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”). Banyak kita temui murid nilai pelajaran agama tinggi, mungkin 8 atau 9, akan tetapi murid yang bersangkutan tidak mengamalkan ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter hendaknya dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, serta melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.

3. Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik perlu dimulai sejak anak usia dini/prasekolah.

4. Selanjutnya dalam rangka “Membangun Bangsa Berkarakter Mengacu pada Nilai Agama” perlu melalui pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur universal : (1). Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian; (3) Kejujuran; (4) Hormat dan Santun: (5) Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama; (6) Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah; (7) Keadilan dan Kepemimpinan; (8) Baik dan Rendah Hati; dan (9) Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan.

Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter Peserta Didik

Berbagai penelitian empiric menunjukkan bahwa; factor guru/dosen memainkan peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter peserta didik. Seorang pakar pendidikan Mujamil Qomar mengatakan dengan mengutip pendapat E.Mulyana bahwa guru merupakan ujung tombak pendidikan., dan guru merupakan pemeran utama proses pendidikan yang sangat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan.(Mujamil Qomar: Menejemen Pendidikan Islam 2007: 21)

GURU: adalah pendidik yang profesional dan memiliki tugas-tugas utama untuk: (1) mendidik, (2) membimbing, (3) mengarahkan, (4) melatih, (5) menilai, dan (6) mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah singkatnya guru bukan hanya meliki tugas mentrasfer pengetahuan, tetapi lebih dari itu tugas para guru/Dosen yang paling utama adalah mampu membentuk peserta didik agar memiliki karakter kebangsaan yang baik.

C. KESIMPULAN/PENUP

”Pilar akhlak (moral) yang dimiliki (member warna) dalam diri seseorang sehingga dia menjadi orang yang berkarakter baik (good character) yang jujur, sabar, rendah hati, Solider, tanggung jawab dan rasa hormat, yang tercermin dalam kesatuan organisasi/sikap yang harmonis dan dinamis.

Tidak adanya tata nilai-nilai, norma dan moral dasar ini (basic moral values) yang senantiasa mengejewantah dalam diri pribadi kapan dan dimana saja, orang dapat dipertanyakan kadar keimanan dan ketaqwaan. Karakter orang yang kuat imannya, antara lain: (1) secara khanif dia patuh pada Tuhannya; (2) dia tertib dan disiplin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan, secara mahdhoh/ritual dan Mu’amalah/sosial; (3) memahami dan menghargai ajaran agama lain, sehingga tercipta kehidupan yang terbuka dan menjunjung tinggi perbedaan seakat didalam perbedaan; (4) memperbanyak kerjasama dalam bidang kehidupan bermasyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, 2003 (cetakan 2, 2006), Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Penerbit Kompas.

H.A.R. Tilaar, 2004 (cetakan 2, 2004), Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rinika Cipta.

Mujamil Qomar, 2007 (cetakan 1, 2007) Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta, Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar