Sabtu, 16 April 2011

Format Pendidikan Nondikotomik (Book Riview Prof.H.Abdurahman Mas'ud,PhD

DI RIVEIW OLEH : DRS. H. IMAM GOZALI
(MAHASISWA PASCA PASCASARJANA IAIN SNJ CIREBON)

MENGGAGAS FORMAT PENDIDIKAN NONDIKOTOMIK [Image][Image] (Kajian Paradigma Pendidikan Islam yang Berorientasi pada Humanisme Relegius) Penilaian yang dialamatkan kepada dunia pendidikan Islam setelah melewati abad pertengahan Islam atau abad kemunduran adalah sebuah penilaian yang sangat memprihatinkan dan walaupun tidak sepenuhnya benar dimana: “Pendidikan Islam identik dengan kejumudan, kemandekan, dan kemunduran. Juga berdasarkan fakta bahwa dewasa ini mayoritas umat Islam hidup dalam serba keterbelakngan baik secara materi maupun intlektual” [Image] [Image] Prof. Dr. H. ABDURRAHMAN MAS’UD, MA. Ph.D************************** A. PENDAHULUAN Hasil karya sebuah gagasan dan buah pemikiran seorang intlektual Islam yaitu Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, MA. Ph.D ( yang selanjutnya penulis sebut beliau ) yang membahas sekaligus menawarkan tentang format pendidikanNondikotomik dengan konsep Humanisme Relegius sebagai paradigma pemikiran bentuk pendidikan Islam. Bukan ”Islam Fundamentalis” atau bahkan ”Islam Liberal” akan tetapi Konsep “Humanisme relegius” sebagai sikap konsistensi yang selalu dipegang teguh oleh beliau untuk menggunakan istilah Humanisme Relegius didalam memperjelaskan keberadan manusia sebagai invidu yang bertanggungjawab pada dirinya sendiri, terhadap apa yang dijalaninya didalam hidup di dunia ini, bukan kepada komunitas atau jama’ahnya, ini adalah sebagai pertanggungjawaban yang cerdas. Kata benda yang memiliki kata sifat dichotomous dan kata verbal to dichotomizhe yang memiliki arti atau makna pembagian dua hala/ keadaan adalah kata yang dimaksudkan beliau untuk kata dikotomi, dimana kata tersebut biasanya dimaksudkan untuk membagi dua comunitas atau kelompok yang memiliki perbedaan. Adapun pendidikan Islam yang dimaksud dan ditelusuri dalam buku “Menggagas format Pendidikan Nondikotomi” ini ialah segala model transformasi ilmu, budaya, karakteristik atau adat istiadat dalam cakupan moralitas pada suatu generasi saat itu dan berlanjut kepada generasi selanjutnya. Oleh karena itu pendidikan yang memiliki cakupan secara konprehensif, yaitu pendidikan Islam yang mampu mengintregasikan antara dua hal yaitu bukan hanya semata- mata memiliki orientasi kepada ilmu- ilmu keduniaan saja tetapi yang berorientasi juga kepada ilmu- ilmu agama (ukhrowy) itulah yang diartikan sebagaiPendidikan Nondikotomi pada dunia Islam. Yang pada akhirnya mampu menciptakan generasi Muslim yang Islami artinya Orang- orang Islam yang memiliki pertanggungjawaban yang baik atau orang Mulim yang bukan hanya mementingkan ibadah dalam tanda kutip pada ritualnya saja. Buku yang berjudul “Menggagas Format pendidikan Nondikotomik” ini memberikan tawaran model pendidikan Islam, khususnya di Indonenesia, karena didalam buku ini sangat fokus didalam menyoroti dan mengulas secara tuntas terhadap pendidikan Islam yang berorientasi pada pemikiran atau cara berfikir yang dikotomik, kemandekan, kejumudan dan tidak mendukung kemajuan peradaban Islam yang pernah dinikmati generasi awal Islam. B. ISI DAN BEBERAPA MUATAN BUKU B.1. Kerangka dan Dasar- Dasar Pendidikan Islam Al-Qur’anul Karim adalah sebagai rujukan pendidikan Islam yang fundamental, terdapat beberapa Ayat didalamnya yang mengharuska manusia untuk menggali dan mencari ilmu pengetahuan melalui Pendidikan atau belajar, antara lain, sebagaimana Firman Alloh didalam Al qur’an: 96: 1-5, pada yang ke empat menjhelaskan bahwa Alloh swt mengajari manusia dengan Qolam yang artinya adalah suatu alat atau sarana untuk menulis sesuatu dan pada ayat yang pertama dan ke tiga tercantum kata Iqro’ sebuah kata perintah kepada manusia untuk selalu membaca. Antara menulis memakai alat tulis dan aktivitas membaca, adalah sebagai syarat mutlak untuk mentransformasi sebuah ilmu pengetahuan dari generasi kepada generasi selanjutnya, dalam rangka membangun martabat dan peradaban manusia dari zaman kezaman. Disamping Al-Qur’anul Karim, hadits Nabi juga selama berabad- abad telah menjadi kurikulum inti pada pendidikan Islam. Kurikulum ini telah memunculkan beberapa disiplin pengetahuan, khususnya ilmu tafsir Al qur’an dan Ilmu hadits. Dua ilmu keagamaan ini telah memberikan kontribusi dan memperkaya peradaban bagi komunitas ulama dalam Islam dengan memunculkan ilmuwan Muslim , Mufassirun, Muhadditsun juga Muarrikhun. Dari kedua dasar idiologi Pendidikan Islam ini, maka Islam telah berhasil menancapkan keyakinan akan arti pentingnya menuntut ilmu pengetahuan (belajar) dalam arti yang sangat luas kepada para penganutnya. Selanjutnya dunia Islam tampil dengan peradaban dan kebudayaan yang menakjubkan dan berbeda dengan peradaban (budaya) lainnya paling tidak ada lima poin utama yang membedakan budaya Islam dengan budaya lain; yang 1. Konsep tauhid atau oneness of god di manapun, kapanpun Islam selalu menampilka ajakan satu Tuhan. 2. Konsep Universalitaspesan dan misi peradaban, di mana al Qur’an menekankan persaudaraan manusia dengan tetap memberi ruang pada perbedaan ras, keluarga, negara dan sebagainya. Al Qur’an (49:13). 3. Konsep Moral yang selalu di tegakkan dalam budaya ini, sebagai mana yang telah dicotohkan oleh para Ulama seperti walisongo yang selalu berda’wah dengan pesan- pesan moral. 4. Konsep budaya toleransi yang sangat tinggi sebagaimana yang telah ditegakkan oleh Nabi di saat umat Islam menjadi golongan mayoritas di kota Madinah diawal- awal perkembangan Isla. 5. Konsepkeutamaan belajar dan memperoleh Ilmu. Budaya mengaji (membaca dan mengkaji kandungan al Qur’an dan mempelajari hadits). Bahkan budaya mebaca ini telah mampu membangun peradaban Islam kepada puncak peradaban dunia dalam waktu yang cukup lama. Budaya yang mengesankan ini sering disebut budaya pendidikan seumur hidup (Life long education) yang terukir dalam sejarah sekaligus dalam sabda Nabi; ”carilah Ilmu sejak bayi ampai keliang lahat.” dan Islam menempatkan ilmu dalam tempat yang khusus dan memberi nilai lebih terhadap ilmu, The value of knowledge. yang terdapat didalam al Qur’an dan hadis serta diperkuat dengan fakta sejarah. Fakta sejarah bahwa di abad pertengahan, peradaban Islam telah memberi kontribusi yang cukup signifikan dalam bidang pendidikan kepada dunia Barat, antara lain ; 1. Sepanjang abad ke 12 dan dan sebagian abad ke 13, karya- karya Ilmuwan Muslim dalam bidang filsafat, sains dan sebagainya telah diterjemahkan kedalam bahasa latin khususnya dari Sepanyol. penerjemahan ini sungguh sangat memperkaya kurikulum dunia pendidikan Barat, husunya di Northwes Europa. 2. Karya- karya Ibnu Sina dibidang kesehatan banyak dipakai sebagai tek di lembaga- lembaga pendidikan tinggi di Eropa. 3. Karya- karya Ilmuwan Muslim telah merangsang kebangkitan Eropa dan memperkaya kebudayaan Romawi kuno serta literatur klasik yang dapat melahirkan renaisance. 4. Para Ilmuwan juga berhasil melestarikan pemikiran dan tradisi ilmiah Romawi- Persia sewaktu Eropa dalam kegelapan. 5. Para Sarjana Eropa belajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi di dunia Islam dan mentransfer ilmu pengetahuan ke dunia Barat. 6. Ilmuwan- ilmuwan Muslim telah menyumbangkan pengetahuan tentang rumah sakit , sanitasi serta makanan ke Eropa. Memang buku ini menginformasikan bahwa puncaki sejarah peradaban Islam berada pada lima abad pertama sejak munculnya Islam. Namun setelah itu tampak adanya kemunduran peradaban (Cultural Decline), yakni sewaktu munculnya fenomena dikotomi Islamic knowlegde dan Non-Islamic Knowlegde mulai merasuki umat Islam. Akan tetapi umat Islam yang hidup di penghujung abad 20-an, peradaban Islam selayaknya jangan dipandang final dalam puncaknya. Sebab hal ini dapat menimbulkan sikap fatalisme yang merenggut etos kerja dan mengandaaskan idealisme hari esok. Sebenarnya wilayah ontologi pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi. Islam memandang bahwa alam dan lingkungan disekitar manusi adalah sebagai media pendidikan. Problema yang di hadapi di dunia pendidikan Islam saat ini adalah mengabaikan pendidikan lingkungan, dan dikotomi antara ilmu agama dan non agama, juga dikotomi anatara wahyu dan alam. Pendidikan yang mengutamakan pengembangan kreatifitas ditumbuhkan kembangkan, pada anak didik diajari meneliti sejak dini dan menumbuhkan rasa ingin tahu yang seringkali terasa usil dalam pandangan orang Indonesia di kembangkan di dunia Barat terutama di USA seperti yang di saksikan oleh beliauketika beliau di sana. Konsep Human Relegius, ditawarkan oleh beliau kepada dunia pendidikan Islam, agar pendidikan Islam tidak lagi mengabaikan kepentingan pendidikn alam, pendidikan akal, serta pengembangan potensi individu secara maksimal sesuai dengan konsep ontologis pendidikan Islam yang tidak mengenal dikotomi dalam pendidikan Islam pada segala lapangan ilmu. Nabi menyampaikan meteri pengajaran dengan memberikan respon dan problem solving yang sangat positif pada problematika yang ada relefansinya dengan fitrah manusia sebagai individu maupun komunitas. Manusia yang kamil adalah merupakan tujuan pendidikan Islam, sebagai titik penekanannya adalah pada rekontruksi tauhid serta menawarkan kecerdasan sosial yang mengacu pada sumber wahyu Ilahi, kepakaan hati nurani, rasionalitas dan jiwa.Munculnya Era Nondikotomik Landasan idiologis Pendidikan Islam adalah Al-Qur’anul Karim dan prilaku Rasululloh (hadits), Muhammad saw seabagai uswah khasanah adalah merupakan figur ideal dalam dunia pendidikan yang memilki kesempurnaan dalam berbagai hal bila ditinjau dengan kacamata manusia biasa bukan sebagai rasul utusan Alloh. Tampilan beliau menujukkan manusia yang multi dimensi disutu sisi, disisi lain beliau sebagai fasilitator didalam menyampaikan risalahnya dengan hikmah dan argumen yang meyakinkan. Model belajar dan mengajar yang dipraktekkan di masa sesudah Nabi itu pasti tidak terlepas dari ucapan dan prilaku Nabi yang disebut hadits atau sunah yang disampaikan dalam berbagai persoalan. Hubungan antara ilmu agama dan non agama berjalan dengan indah dan sangat harmonis, juga saling melengkapi inilah fakta sejarah perkembangan ilmu pengetahuan didalam Islam yang tidak ada aroma dikotomik. Munculnya Era Dikotomik Munculnya simtom dikotomik di dalam pendidikan Islam bukanlah menopoli lembaga pendidikan. Bagaikan sebuah wabah simtom atau firus, dikotomik menyerang keseluruh penjuru kehidupan umat Islam, mulai dari kalangan para raja sampai kepada rakyat jelata, dari luar lembaga sampai dengan kedalam lembaga pendidikan. Era dekotomik ini di tandai denga polarisasi yang tajam antara Sunni dan Syi’ah, anatara faksi- faksi di dalam Sunni sendiri, serta ekstermitas, fanatisme mazhab dan aliran teologi yang berlebihan. Khujjatul Islam Imam Al Ghazali bersama dengan lembaga pendidikan An Nizamiyah sering di jadikan titik sentral untuk melemparkan kesalahan, al Ghazali juga dituduh sebagai penganjur untuk menghalang- halangi ilmu- ilmu umum agar tidak di masukkan didalam kurikulum pendidikan Islam. Tuduhan- tuduhan semacam itu tidak benar sebab al Ghazali hanya mencoba mengklasifikasikan ilmu umum dalam beberapa klasifikasi, bahkan al Ghazali menganjurkan agar umat Islam juga mempelajari ilmu kedokteran, ilmu hitung, dan termasuk ilmu- ilmu non syari’ah, ilmu pasti, logika ilmu alam, ilmu politik dan etika.MEMPERKENALKAN HUMANISME RELEGIUS Humanisme sebagai kultur adala sebuah tradisi pemikiran rasional dan empirik yang sebagaian besar berasal dari Yunani dan Romawi kuno, kemudian berkembang pada Sejarah Eropa. Humanisme dijadikan oleh dunia Barat sebagai dasar pendekatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan, teori politik, etika dan hukum. Pada perkembangannya humanbisme terbagi menjadi tiga bagian yaitu relijius, sekular dan moderen. Humanisme relegius muncul dari etika kebudayaan, unitarianisme dan universalisme. Pengertian agama digunakan oleh humanisme religius secara fungsional. Kegunaan agama bagi manusia adalah untuk memberikan layanan kebutuhan perorangan maupun kelompok sosial dan humanisme relegius diterjemahkan sebagai fondasi keyakinan didalam beraktifitas. Sebagai sebuah keniscayaan untuk membangun dan mengembangkan paradigma humanisme relegius dalam pendidikan Islam di kalangan umat Islam Indonesia, karena ; 1. Pemahaman dan aplikasi keagamaan yang hanya berorientasi pada hal- hal yang bersifat vertikal dan kesemarakan ritualnya saja. 2. Kecerdasan dan kesalehan sosial masih sangat kering dari praktek keberagamaan masyarakat Islam. 3. Belum dikembangkannya potensi yang ada pada peserta didik secara proporsional, Pengembangan semberdaya manusia belum menjadi orientasi bagi kebanyakan lembaga pendidikan Islam yang ada. 4. Untuk mencapai tujuan pendidikan, agar peserta didik memiliki sikap mandiri dan tanggungjawab sepertinya masih sangat jauh dan tidak diterapkan pada dunia pendidikan Islam. Dampak Humanisme Relegius dalam Pendidikan Islam Humanisme Relegius sebagai sebuah konsep pemahaman atau paradigma keagamaan yang ingin menempatkan manusia yang dimanusiakan keberadaannya, serta ingin mengupayakan gerakan humanisasi dalam bidanbg ilmu pengetahuan tetap memperhatikan tanggungjawab manusi dalam membangun hubungannya dengan sesama manusia dan tetap memperhatikan tanggungjawabnya dengan Tuhan (Hablum minlloh dan hablum minannas). Seorang guru diharuskan untuk mempersiapkan anak- anak peserta didiknya dengan penuh perhatian dan kasih saayang, sebagai pribadi yang saleh yang memiliki rasa tanggungjawab sosial, relegius serta lingkungan hidupnya. Dengan demikian guru dailam mendidik anak didiknya diharapka tidak hanya sekedar menyampaikan pengetahuan yang bersifat dogmatis dan teoritis, akan tetapi lebih kepada aplikatif dan keteladanan sikap, baik dari ucapan, cara sikap dan prilaku seorang guru ditunjukkan agar peserta didik bisa belajar untuk memproses dirinya menjadi manusi sempurna (Insan kamil). Didalam konsep humanisme relegius, peserta didik seharusnya diberikan kemerdekaan sebagai individu yang memiliki otoritas individu juga, sehingga mereka memilki kemampuan untuk mengambil keputusan yang bertanggungjawab. Penerapan sikap tanggungjawab tarhadap peserta didik adalah sebagai keharusan agar siswa memiliki kepercayaan untuk mengevaluasi dirinya sendiri, sebagai langkah kedepan untuk melihat rialitas yang akan selalu mereka hadapi. Guru harus menjadi mitra terdekat dalam proses belajar, peserta didik harus juga diberikan kesempatan dalam proses evaluasi guru. Solusi yang baik adalah mengadakan evaluasi dengan cara yang obyektif dan konfrehensif, bukan hanya dari segi kecerdasan intlektual tetapi harus juga sangat diperhatikan dalam bidang kecerdasan emosional dan kecerdasan sepiritual. Kelermahan yang harus di akuai pada penyelenggara pendidikan adalah menitikberatkan pada penilaian akhir semester, yang baik adalah evaluasi harian dengan mencatat perkembangan peserta didik, karena humanisme relegiue lebih mengedepankan proses dari pada sekedar tujuan final C. PEMBAHASAN. Pokok pembahasan dari tulisan beliau dalam bukunya Menggagas Format Penmdidikan Nondikotomik ini adalah upaya untuk menawarkan dan mengajak umat Islam agar bengkit dan membangun peradaban Islam dengan mengembangkan konsep beliau yaitu Human Relegius sebagai antitesis dan sintesis peradaban Barat. Dalam buku ini beliau menyampaikan fenomena yang tampak dari kebanyakan orientasi pendidikan Islam yang berorientasi pada ”apa” (What oriented education)hingga ranah kognitif sebagai sasaran utama dalam memberikan intruksi pengajaran. Metode aplikatif tidak dihiraukan sama sekali, kebanyakan pendidikan Islam memakai metode hafalan, metode ini mendominasi secara luas dikalangan umat Islam, sehingga kekritisan sebagai suatu sikap tidak diberikan ruang yang cukup. Pada akhirnya peserta didik belajar dan hanya bisa menghafal materi pelajaran tetapi hampir- hampir tidak mendalami fakta- faktanya. Beliau memaparkan bahwa quisener (petranyaan) kenapa belum dibiasakan untuk dipakai sebagai sebuah alat dalam mendalami pencarian ilmu pengetahuan pada lemabaga- lembaga pendidikan Islam. Apalagi pendidikan Islam masih terasa jauh dalam membidik pada aspek Afektif dan Psikomotorik, sehingga pembekalan terhadap pesert didik untuk menjadi pribadi- pribadi yang mandiri, memiliki keahlian menjadi terabaikan. Didalam perjalanan dan petualangan pemikiran beliau sampai ke dunia Barat telah mampu dan berhasil menampilkan sebuah potret masa nondikotomi dan dikotomi dalam sejarah perkembangan pemikiran intlektual Islam, dan berhasil mendeteksi proses pebnyebab munculnya dikotomi ditengah- tengah masyarakat Muslim melalui kegiatan penelitian yang beliau lakukan. Kerena menurut beliau semangat dikotomi didalam Islam bukan hanya terjadi pada lapangan pendidikan saja, tetapi lebih jauh dan lebih luas telah merasuki dunia diluar lembaga- lembaga pendidikan Islam. Penyebabnya cukup komplek yang meliputi sikap mental umat Islam yang dikotomisdidalam maupun diluar institusi pendidikan, serta Tribalisme baru yang berupa fanatisme mazhab yang berlebihan. Pada lima abad pertama dari kemunculan Islam yaitu (Abad ke 7 M sampai dengan abad ke 11 M) dalam dunia pendidikan Islam benar- benar tidak terjadi pendikotomian ilmu- ilmu khususnya dikalangan para ilmuwan Islam. Baru pada akhir abad ke 11 menjelang abad ke 12 M terjadi pendikotomian ilmu-ulmu agama dan ilmu- ilmu umum dikalangan umat Islam. Sebagai akibatnya berdampak serius terhadap terjadinya kemunduran peradaban Islam dan intlektualisme pemikiran Islam. D. KESIMPULAN / PENUTUP Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, MA., Ph.D, sebagai penulis buku yang menggagas Format Pendidikan Nondikotomik menghimbau dan mengajak dengan sekuatnya kepada umat Islam untuk melakukan rekontruksi kembali, dan untuk melakukan revitalisasi, serta melakukan reposisi terhadap pendidikan Islam dan Intlektualisme Pemikiran Islam dengan semangat Humanisme Relegius sebagai paradikma Islam yang baru. Menurut beliau ada beberapa hal yang salah didalam dunia pendidikan Islam, antara lain; 1. Kecenderungan pemikiran dikotomi dan polarisasi dikalangan umat Islam benar- benar telah mengakar dengan kuat antara ilmu umum dan ilmu agama. 2. Para peserta didik telah terkungkung dalam posisi yang rapuh tidak ada ruang kekritisan didalam proses belajar 3. Sistem hafalan teks telah mendominasi sistem pendidikan Islam sehingga semangat mencari dan meneliti sangat rendah, inilah tantangan dan problematika yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam 4. Penulis buku ini berkonsentrasi pada dunia pebndidikan Islam, karena menurut beliau ketika (Pembuat riviu buku ini) mengajukan pertanyaan pada pertemuan Kuliah perdana beliau di Pasca sarjana IAIN Syeh Nurjati Cirebon pada tanggal 16 April 2010, beliau menjawab bahwa hanya pendidikan atau dengan melalui belajar umat Islam akan terlepas dari kecenderungan pemikiran dikotomik dan peradaban Islam dan akan bengkit untuk maju kembali seperti pada preode lima abad pertama kemunculan Islam. [Image]PENUTUP, Marilah kaum terpelajar untuk bangun dan berada digarda paling depan dengan rmenabuh genderang da’wah terhadap pemikiran dikotomik, agar peradaban Islam menjadi maju. Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar